Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jumat (13/5) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Pada kesempatan itu, Palguna menerangkan mengenai pengertian Konstitusi secara luas.
“Konstitusi tertulis dikatakan tidak sempurna, bukan hanya dalam pengertian tidak lengkap, tetapi juga selalu membutuhkan legitimasi dari zamannya,” kata Palguna kepada para mahasiswa.
Dikatakan Palguna, konteks ketika Konstitusi itu dibuat akan memengaruhi teks dari Konstitusi itu sendiri. Oleh karena itu, Konstitusi sebenarnya adalah resultan dari berbagai faktor ketika Konstitusi disusun, baik faktor politik, faktor ekonomi, dan sebagainya.
“Oleh sebab itu, ketika sebuah Konstitusi diberlakukan pada zaman tertentu, kemudian hendak diberlakukan pada zaman yang begitu panjang di kemudian hari, dia sudah tidak dalam konteksnya,” jelas Palguna.
Diungkapkan Palguna, berlakunya Konstitusi dalam suatu zaman sempat memunculkan pertanyaan. “Seorang intelektual sempat mempertanyakan, bagaimana mungkin suatu teks yang lahir sekian ratus tahun yang lalu, kemudian diberlakukan sama untuk zaman kini dengan situasi yang berbeda. Dia mengatakan, Konstitusi semacam itu adalah sebuah skandal. Itu pernyataan yang sangat keras dan sampai sekarang menjadi perdebatan,” ujar Palguna.
Sepanjang menyangkut Konstitusi tertulis, kata Palguna, penyempurnaan Konstitusi dapat dilakukan dengan perubahan formal yaitu perubahan yang mekanismenya telah diatur di dalam konstitusi suatu negara. Penyempurnaan Konstitusi bisa dilakukan melalui penafsiran Konstitusi oleh hakim ke pengadilan, serta melalui kebiasaan dan konvensi.
Lebih lanjut, Palguna menerangkan pengertian interpretasi hukum yaitu uraian mengenai pemahaman terhadap norma atau kaidah, materi muatan dari setiap pasal dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Ada beberapa interpretasi hukum. Misalnya, interpretasi hukum secara grammatical yaitu suatu cara penafsiran menurut arti perkataan yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang. Juga ada interpretasi hukum secara historis, sosiologis, otentik, yurisprudensi maupun secara analogis,” papar Palguna.
Selain itu, lanjut Palguna, ada penafsiran secara acontrario yaitu suatu penafsiran hukum yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan perlawanan pengertian itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut.
Hal lainnya, Palguna menguraikan tiga hal terkait konstruksi hukum. Hal pertama adalah analogi, bertujuan memperluas berlakunya pengertian hukum atau perundang-undangan. Adanya analogi, akibat dibutuhkan perluasan hukum dengan menyesuaikan tempat, waktu dan situasi. Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai kesaam permasalahan dengan anasir yang berlainan.
Hal kedua adalah penghalusan hukum, yaitu memperlakukan hukum sedemikian rupa sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum dengan cara mempersempit berlakunya suatu pasal merupakan kebalikan daripada analogi hukum. Penghalusan hukum bemaksud mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang.
Sedangkan hal ketiga, ungkap Palguna, adalah argumentum acontrario yang artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. (Nano Tresna Arfana/lul)