Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap dua perkara Pengujian Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Rabu (18/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Kedua perkara dimaksud yakni Perkara No. 43/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan Rahmad Sukendar dan Perkara No. 40/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Sisno Adiwinoto. Lewat kuasa hukumnya masing-masing, Pemohon menegaskan bahwa kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (seponering) menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sisno yang merupakan purnawirawan dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi menyampaikan langsung permohonannya di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Suhartoyo. Seperti yang dipaparkan Sisno, gugatan terhadap ketentuan yang tercantum dalam Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan tersebut dilatarbelakangi seponering atas kasus yang menimpa Mantan Pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Selain sebagai purnawirawan, Sisno yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia merasa gerah dengan ketentuan a quo. Sebab, ketentuan tersebut telah menghambat langkah para penyidik untuk menuntaskan kasus. Sisno juga melihat, alasan penetapan seponering selama ini sangat politis dan menimbulkan efek domino.
“Kami harapkan keputusan deponering (seponering) itu bisa dibatalkan sehingga kasus ini (kasus Samad dan BW, red) tetap berjalan,” ujar Sisno menyampaikan keinginannya.
Memperjelas permohonan, Ardy Mbalemboet selaku kuasa hukum Sisno menyampaikan logika uji materi. Menurut paparan Ardy, Pasal 35C UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 secara jelas menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa di tengah seruan visi nawacita presiden Jokowi negara terus-menerus digonjang-ganjingkan oleh keputusan tidak adil oleh Jaksa Agung yang dengan mudah dan tanpa beban mengesampingkan serta menghentikan penuntutan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum dan mencederai rasa keadilan publik bahkan melecehkan kinerja Kepolisian,”tambah Ardy.
Hal senada juga disampaikan Hytami selaku kuasa hukum dari Rahmad Sukendar. Ia menjelaskan bahwa Sukendar merupakan Pimpinan Badan Peneliti Independen Kekayaan Pejabat Negara dan Pengusahan Nasional (BPIKPNPN).
Selaku pimpinan BPIKPNPN, Sukendar seperti yang disampaikan Hytami mendapat berbagai pengaduan dari masyarakat yang merasa kecewa terhadap ketetapan seponering terhadap kasus pimpinan KPK dimaksud. “Prinsipal kami adalah ormas, kemudian menerima pengaduan-pengaduan dari masyarakat terhadap adanya keputusan deponering (seponering) dari Kejaksaan Agung itu bertentangan dengan nilai-nilai rasa keadilan bagi masyarakat, juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Hytami.
Terkait isi Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan yang menyatakan pengesampingan perkara dapat dilakukan demi kepentingan umum, Hytami mempertanyakan arti dari frasa “kepentingan umum” dimaksud. Menurutnya, frasa “kepentingan umum” memiliki tafsir majemuk yang dapat diartikan sebagai kepentingan di semua aspek bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Berdasarkan argumen-argumen tersebut, kedua Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.
Saran Hakim
Usai mendengarkan paparan kedua Pemohon, Majelis Hakim menyampaikan saran yang dapat digunakan untuk perbaikan permohonan. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengingatkan agar Pemohon mempertajam argumentasi mengenai kerugian konstitusional yang dialami akibat berlakunya Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan.
“Kemudian yang 43 (Perkara 43, red) tidak jauh berbeda nasihat saya bahwa pasal yang dimohonkan pengujiannya itu sama, Pasal 35 huruf c kemudian dipertajam juga apa kerugian dari Pemohon,” tegas Wahiduddin.
Sementara itu Hakim Konstitusi Aswanto menekankan pada argumentasi permohonan yang dibangun oleh kedua Pemohon. Misalnya, dalil mengenai multitafsirnya frasa “kepentingan umum”. Menurut Aswanto, Pemohon dapat menggali lagi teori-teori mengenai pengertian “kepentingan umum” di dalam posita permohonannya. Dengan demikian, Mahkamah dapat menangkap lebih jelas gugatan Pemohon.
“Karena uji materi ini adalah pengujian norma, kita sebenarnya berharap bahwa pada poin tentang kepentingan umum ini mungkin bisa dieksplorasi lebih dalam lagi. Bagaimana pandangan misalnya, pandangan para pakar atau teori-teori tentang kepentingan umum itu. Sehingga kita (Mahkamah, red) yakin nanti bahwa memang ini ada problem normatif,” saran Aswanto. (Yusti Nurul Agustin/lul)