Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dengan nomor perkara 35/PUU-XIV/2016 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/5) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Suhajar Diantoro.
Pemerintah menilai permohonan pengujian materiil undang-undang yang diajukan oleh Pemohon lebih mengarah kepada penuntutan hak individu atau golongan, bukan kepada makna pengujian yang sebenarnya yaitu dalam rangka memperbaiki tata regulasi yang lebih baik dalam rangka mewujudkan cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
“Pemerintah sangat memahami adanya potensi permasalahan partai politik, terutama terkait sengketa kepengurusan. Hal inilah yang mendasari perlunya dibentuk Mahkamah Parpol untuk menyelesaikan berbagai macam permasalahan internal partai, termasuk di dalamnya sengketa kepengurusan. Pengertian putusan partai bersifat final dan mengikat pada Ketentuan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Parpol adalah bermakna bahwa tidak ada upaya lain dalam internal partai melalui Mahkamah Parpol, sehingga masih dimungkinkan upaya penyelesaian di luar partai,” papar Suhajar.
Dalam rangka menjamin kepastian hukum dan keadilan tersebut, lanjut Suhajar, Pasal 33 Undang-Undang a quo telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa partai manakala internal atau Mahkamah Parpol tidak dapat menyelesaikan sengketa parpol yang terjadi, yaitu penyelesaiannya melalui pengadilan negeri dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
“Bahwa dalam keadaan tertentu di mana terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan intern parpol maka surat keputusan pengesahan susunan kepengurusan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Agung dengan memperhatikan dinamika dan stabilitas politik guna menjaga iklim demokrasi yang lebih baik,” ucap Suhajar.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Ibnu Utomo bersama dua orang lainnya sebagai pengurus dan anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggugat Pasal 33 ayat (2) UU Parpol. Pasal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan yang dinyatakan sah oleh putusan kasasi.
Menurut Pemohon, tidak adanya ketentuan dalam UU Partai Politik mengenai tindak lanjut penerbitan Surat Keputusan bagi susunan kepengurusan Partai Politik yang telah dinyatakan sah dalam putusan kasasi membuat Pasal 33 ayat (2) UU Partai Politik multitafsir.
Pemohon beranggapan, UU Partai Politik dianggap multitafsir karena Menteri Hukum dan HAM bisa mengabaikan putusan kasasi dan berhak untuk tidak menerbitkan keputusan pengesahan kepada susunan kepengurusan partai politik yang telah dibenarkan keabsahannya oleh putusan kasasi. Bahkan Menteri Hukum dan HAM dapat saja menerbitkan keputusan pengesahan untuk susunan kepengurusan yang ditolak keabsahannya oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
Akibat ketidakpastian penafsiran ketentuan hukum Pasal 33 ayat (2) UU Partai Politik, menurut Pemohon, partai politik tak lebih hanya akan menjadi alat yang dapat dikontrol oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan para kader partai politik yang ditempatkan di DPR dapat dikontrol, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/lul)