Guru Besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya Malang Achmad Sodiki menyatakan Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) bertentangan dengan Konstitusi. Hal tersebut diungkapkan Sodiki sebagai Ahli Pemohon pada sidang lanjutan pengujian UU Perkebunan (UU Perkebunan), Rabu (18/5) di ruang sidang MK.
Pasal 107 huruf a, huruf c dan huruf d UU Perkebunan menyatakan, “Setiap orang secara tidak sah yang a. mengerjakan, menggunakan, menduduki dan/atau menguasai lahan perkebunan ; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/ataumenguasai tanah masyarakat atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat dengan maksud untuk usaha perkebunan;c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan; ataud. memanen dan/atau memungut hasil perkebunan;sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).”
Padahal, imbuhnya, Undang-Undang No. 51 Prp 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Pemilik atau Kuasanya yang Sah menyebutkan bahwa jika terjadi pemakaian tanah seperti yang dimaksud pasal a quo, maka yang diutamakan adalah dengan jalan musyawarah. “Pasal tersebut tidak menjelaskan mengapa sampai terjadi pemakaian tanah perkebunan tanpa izin. Ada kemungkinan batas antara tanah hak ulayat dengan hak guna usaha perkebunan tidak jelas. Ada kemungkinan masyarakat masih berpendapat bahwa mereka mengerjakan atau memakai tanah sesuai dengan hukum adat mereka,” papar Sodiki dalam sidang perkara nomor 138/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Menurut Sodiki, hal tersebut sangat penting didalami karena masyarakat adat yang membuka, mengerjakan, menggunakan tanah sesuai dengan hukum adatnya tidak bisa dihukum sebagai konsekuensi pengakuan terhadap berlakunya hukum adat. Di masa silam, pemerintah Hindia Belanda telah mengatur dalam Ord van 7 Oct 1937) S.37-560 iwg 16 Oct 1937 yang intinya menyebutkan jika orang-orang bumiputra yang tanpa hak memakai tanah milik negara atau swapraja di mana terdapat hak erfpacht (hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun yang dinamakan “pacht” [Pasal 720 KUHPerdata], red), maka segala hak dan kekuasaan dari pemegang erfpacht tersebut tidak dapat dikurangi sesuai dengan peraturan-peraturan menurut hukum keperdataan. Sekalipun masyarakat hukum adat memakai tanah erfpacht, kalau tindakannya sesuai dengan hukum adat, maka mereka tidak bisa disalahkan.
“Uraian tersebut membuktikan bahwa pemerintahan jajahan saja tidak berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat hukum adat yang mengerjakan tanah sesuai dengan hukum adatnya, sekalipun di atas tanah erfpacht. Dalam Ordonansi 7 Oktober 1937 sama sekali tidak ada ancaman pidana karena dianggap sebagai atau masuk urusan perdata,” tegas Sodiki.
Dalam persidangan juga dihadirkan beberapa orang Saksi Pemohon. Di antaranya Asep Setiawan yang mengadukan kesaksian atas tuduhan penyerobotan lahan di Desa Cijulang, Pangandaran Jawa Barat. “Sepengetahuan kami, dari sebelum tahun 1991, masyarakat setempat dan keluarga kami dan kakek kami di situ bertani tidak ada gangguan, tidak ada apa-apa, kami mencari makan di situ. Tahun 1991 PT Bumiloka masuk ke lahan kami tapi kami terus menggarap lahan tersebut sampai tahun 1999. Sampai datanglah pihak keamanan PT Bumi Loka melarang kami dan masyarakat lain tidak boleh lagi menggarap lahan tersebut,” tutur Asep.
Lain lagi dengan cerita Gusti Gelombang dari Kecamatan Kota Waringin lama, Kalimantan Tengah. Pada 2004 masuk investor ke lokasi wilayah tempat Gusti bercocok tanam di atas tanah 30.000 hektar. Pola pembagian keuntungan antara masyarakat setempat dengan investor adalah 50-50. Namun dengan berjalannya waktu, pola kemitraan jadi tidak transparan, hingga berubah menjadi manajemen satu atap. Skema kemitraan jadi lebih menguntungkan investor.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli nasib petani kecil, di antaranya Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch (PSW), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Pemohon menguji sejumlah ketentuan dalam UU Perkebunan.
Menurut Pemohon, pelaksanaan musyawarah dengan masyarakat adat tidak seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU Perkebunan. Sebab, hukum masyarakat adat telah mengatur dalam hukum mereka sendiri. Pengujian UU Perkebunan sendiri sudah pernah diajukan ke MK terkait pasal mengenai kriminalisasi. Saat itu, MK memutuskan permohonan inkonstitusional. Namun menurut Pemohon, sebelum pemberlakuan pasal kriminalisasi harus ada pemetaan dan penjelasan konflik yang menyeluruh di lahan-lahan perkebunan dan juga mengenai masalah hukum adat. (Nano Tresna Arfana/lul)