Pengalihan pengurusan pendidikan dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah mengabaikan kewajiban Konstitusi karena tidak memperhatikan keragaman daerah. Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra selaku ahli yang dihadirkan Walikota Blitar yang menjadi Pemohon dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Sidang keempat perkara dengan Nomor 30/PUU-XIV/2016 itu digelar Selasa (17/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Saldi, UU a quo justru tidak membuka ruang penyelenggaraan pendidikan dilakukan sesuai dengan keberagaman daerah. Hal itu menunjukkan UU a quo mengatur pembagian urusan pemerintahan yang bersifat kongruen dengan memberlakukan semua daerah secara sama atau seragam, sekali pun kondisi untuk setiap daerah berbeda satu sama lainnya.
“Dengan begitu, pembentuk undang-undang dapat dinilai mengabaikan kewaiban konstitusionalnya untuk memperhatikan keragaman daerah ketika mengatur hubungan dan pembagian wewenang antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pada saat yang sama, pembagian urusan pemerintahan sebagaimana terdapat dalam lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga menutup ruang dilakukannya penyelenggaraan urusan pemerintahan secara asimetris. Termasuk dalam urusan penyelenggaraan pendidikan menengah. Padahal Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara tegas memberi amanat kepada pembentuk undang-undang untuk memperhatikan keberagaman tersebut,” terangnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Lebih jauh, Saldi menjelaskan peralihan kewenangan justru dikhawatirkan akan menyebabkan menurunnya mutu pelayanan dasar pendidikan dibandingkan ketika masih diselenggarakan oleh daerah kabupaten/kota. Sebab, lanjut Saldi, ketika kewenangan dialihkan semua akan memulai dari awal dan membutuhkan pendataan dalam masa peralihan yang tidak sebentar. Masyarakat di daerah kabupaten/kota dengan kondisi demikian, tentu akan dirugikan sehingga peralihan tersebut tidak akan memperoleh hasil guna yang lebih baik.
“Sementara bagi daerah kabupaten/kota yang masih dibayangi berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pendidikan menengah karena infrastruktur dan anggaran yang belum memadai, dan masih lemahnya sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pendidikan menengah, mengalirkan kewenangan penyelenggaraan pendidikan menengah ke daerah provinsi akan membuka harapan baru untuk perbaikan sistem penyelenggaraan pendidikan menengah, walaupun tetap tidak ada jaminan akan terlaksana secara lebih baik,” terangnya.
Mempermudah Koordinasi
Ahmad Sonhadji, ahli lain yang dihadirkan oleh Walikota Blitar M. Samanhudi Anwar, menjelaskan pengelolaan pendidikan akan efektif dilakukan oleh pemerintah daerah/kota terutama dari sisi koordinasi. Ia menggambarkan wilayah Jawa Timur yang begitu luasnya. Dengan wilayah provinsi yang sangat luas, koordinasi menjadi sulit dilakukan. Di Jawa Timur, jumlah SMA dan SMK mencapai 2.897 dengan jumlah guru 84.525 orang dan siswa 1.056.746 orang berdasarkan pusat data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur yang tersebar pada lokasi yang sangat luas, terbentang dari Kabupaten Pacitan sampai Kabupaten Sumenep, dan dari Kabupaten Banyuwangi sampai ke Kabupaten Tuban.
“Jelas koordinasi pengelolaan pendidikan akan efektif jika dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, sebagai contoh koordinasi pengelolaan pendidikan dasar dan menengah di Kota Blitar dilakukan dengan sinergi antara SKPD-SKPD dengan demikian chemistry antara SKPD ini dapat didayagunakan secara optimal dalam pengelolaan pendidikan secara tidak terpisah, yaitu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika satu jenjang pendidikan, yaitu pendidikan menengah dikelola oleh pemerintah daerah/provinsi secara terpisah,” tuturnya.
Permohonan Nomor 30/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dan sejumlah warga Surabaya yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Dalam pokok permohonannya, Samanhudi berkeberatan dengan aturan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan. Menurut pemohon, aturan yang mengalihkan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi mengakibatkan pengelolaan unsur manajemen pendidikan menengah menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan.
Sementara, warga Surabaya menilai ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda berpotensi menghilangkan jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU 23/2014 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam jaminan di bidang pendidikan. (Lulu Anjarsari/lul)