Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat kunjungan dari 53 Mahasiswa Keguruan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Selasa (17/5). Dalam agenda tersebut, para mahasiswa disambut oleh Kepala Bidang Penelitian, Pengkajian Perkara dan Perpustakaan MK Wiryanto.
Pada awal pemaparan, ia menjelaskan sepak terjang dan fungsi MK dalam ketatanegaraan Indonesia. Hakikatnya, MK adalah lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan hakim. Sembilan hakim tersebut merupakan representasi pilihan Mahkamah Agung (MA), Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Perinciannya masing masing berjumlah tiga orang dari pilihan tiap lembaga,” ujar dia.
Terkait tugas dan wewenang MK, Wiryanto menjelaskan ada empat wewenang MK dan satu kewajiban berdasar amanat UUD 1945. Wewenang MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
MK, kata Wiryanto, adalah jawaban dari amanat reformasi. Para pengubah UUD 1945 merasa perlu adanya lembaga yang berfungsi melakukan check and balance pada undang-undang yang dihasilkan parlemen agar sesuai dengan Konstitusi. Wiryanto pun menyebut MK Indonesia adalah urutan ke 78 didirikan di dunia. Untuk abad 21, MK Indonesia menjadi lembaga konstitusi yang pertama didirikan di seluruh dunia.
Sesi Tanya Jawab
Usai menyampaikan pemaparan, Wiryanto memberi kesempatan kepada mahasiswa yang ingin bertanya. Tercatat ada dua penanya dalam sesi tersebut. Pertanyaan pertama diajukan mahasiswa bernama Febri Anwar. Dirinya menanyakan apakah di MK ada mekanisme untuk mengkontrol perilaku hakim.
Wiryanto menyatakan di MK ada yang disebut Dewan Etik. Fungsinya sebagai penjaga perilaku para hakim. “Dewan etik terdiri dari tiga anggota yang terdiri dari mantan hakim konstitusi, akademisi, dan unsur masyarakat,” kata dia.
Namun Wiryanto menegaskan Dewat Etik tidak mengontrol putusan hakim. Sebab, hakim di mana pun memiliki kemerdekaan dalam memutus perkara. Titik tekannya yang dijaga adalah tindak-tanduk dan perilaku hakim.
Selanjutnya pertanyaan kedua datang dari mahasiswa bernama Muhammad Bana. Ia menanyakan terkait putusan yang diterima saat pilkada serentak lalu. Wiryanto menjelaskan total permohonan sebanyak 151 perkara. Adapun yang memenuhi syarat dan berlanjut sebanyak 5 permohonan. “Kebanyakan permohonan tidak memenuhi prasyarat Pasal 158 UU 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada,” jelasnya. (ars/lul)