Ahli Hukum Pidana Universitas Diponegoro Pujiono menyinggung diferensiasi fungsional menyangkut dua kewenangan yang berbeda antara Polisi dan Jaksa. Hal itu disampaikannya sebagai ahli yang dihadirkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai Pihak Terkait dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam sidang teregistrasi Nomor 123/PUU-XIII/2015 dan 130/PUU-XIII/2015 tersebut, Pujiono menegaskan kewenangan penyidikan hanya diberikan kepada Polisi. “Penyidikan dilakukan Polisi dan penuntutan dilakukan jaksa,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Usulan memberikan kewenangan pada jaksa untuk melakukan penyidikan agar dapat mengatasi terjadinya bolak-balik berkas perkara, kata dia, bukanlah solusi tepat. Sebab, hal itu bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional. Masing masing institusi, jelasnya, sudah memiliki kewenangannya masing masing. “Jika ini diterapkan, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan,” imbuhnya.
Pujiono berpendapat terkatung-katungnya suatu kasus di polisi dan jaksa bukan persoalan atau kecacatan kenormaan dari sudut kebijakan formulasi. Akan tetapi, merupakan persoalan implementatif, khususnya persoalan koordinasi. “Terkait tidak adanya batasan waktu dan beberapa kali bolak-baliknya berkas dan merugikan tersangka, bisa dilakukan perubahan norma dalam perundang-undangan, yang mana merupakan kewenangan lembaga legislatif,” jelasnya.
Ahli lainnya yang dihadirkan Polri, Teuku Nasrullah, menjelaskan terkait RUU KUHAP yang baru. Menurutnya, dalam RUU tersebut, nantinya pengaturan bolak-balik perkara hanya satu kali, yaitu ketika pengembalian berkas kedua dari penyidik kepada penutut umum. Dalam hal hasil penelitian penuntut umum masih perlu dilengkapi kembali berkas tersebut, maka penuntut umum sendiri akan melengkapi berkas itu dengan melakukan pemeriksaan tambahan kepada saksi-saksi, ahli, dan tersangka.
“Praktik bolak balik perkara dari penyidik kepada penuntut umum sampai berkali-kali adalah suatu keadaan yang sangat nyata, dan mengganggu asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya murah. Ini menjadi dasar landasan kita merancang isinya seperti itu,” jelasnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengujikan beberapa norma, yaitu Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i KUHAP. Menurut Pemohon perkara 123/PUU-XIII/2015, frasa “segera” dalam UU a quo tidak memberikan jangka waktu yang pasti, sehingga tidak menjamin dan memberikan ruang bagi seorang tersangka untuk mendapatkan kepastian hukum. Bahkan dalam rancangan KUHAP, permasalahan mengenai batasan jangka waktu penyidikan pun mendapat perhatian.
Hak tersangka untuk diperiksa penyidik, dimajukan dan diadili di persidangan dalam hukum acara saat ini hanya berupa kata “segera”. Sedangkan dalam rancangan KUHAP, diatur lebih limitatif, yakni pemeriksaan oleh penyidik dilakukan satu hari setelah ditangkap/ditahan. Penyerahan kepada penuntut umum adalah enam puluh hari (jika ditahan) dan sembilan puluh hari (jika tidak ditahan), sedangkan hak untuk segera diadili di persidangan adalah empat belas hari dan dapat diperpanjang selama empat belas hari.
Pemohon menilai keberadaan aturan tersebut dapat menghambat upaya Pemohon dalam menjaga dan menegakkan nilai-nilai konstitusionalisme dengan berperan aktif melakukan advokasi.
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 menilai, sejumlah ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP semakin melemahkan peran penuntut umum. Dalam proses prapenuntutan seringkali timbul kesewenangan penyidik dan berlarutnya penanganan tindak pidana dalam proses penyidikan. Seperti yang dialami Pemohon, Usman Hamid yang menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Sementara Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Namun, Andro mencabut keterangan dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.
Ketentuan Pasal 109 ayat (1) menyebabkan penyidikan dilakukan tanpa kontrol dan pengawasan penuntut umum karena tidak jelasnya kapan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum. Ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) juga dinilai bersifat multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan seringkali melanggar hak-hak konstitusional. (ARS/lul)