Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat kunjungan dari 42 Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Kamis (12/5). Dalam agenda tersebut, para mahasiswa disambut langsung oleh Peneliti MK Pan Muhammad Faiz.
Di awal pemaparan, Faiz menjelaskan sepak terjang dan fungsi MK dalam ketatanegaraan Indonesia. Hakikatnya, MK adalah lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan hakim. Kesembilan hakim tersebut merupakan representasi pilihan Mahkamah Agung (MA), Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Perinciannya masing-masing berjumlah tiga orang dari pilihan tiap lembaga,” ujar dia.
Menyangkut tugas dan wewenang MK, Faiz menyatakan terdapat empat wewenang MK dan satu kewajiban berdasarkan amanat UUD 1945. Wewenang MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Perkembangan terkini, kata dia, jumlah putusan MK hingga April 2016 mencapai angka lebih dari 2000, dengan perincian Pengujian Undang Undang (PUU) 815 putusan, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) 25 putusan, Pemilu Legislatif 1826 putusan, Pemilu Presiden 4 putusan, dan Pemilu Kepala Daerah 649 putusan.
Sesi Tanya Jawab
Usai menyampaikan pemaparan, Faiz memberi kesempatan bagi mahasiswa yang ingin bertanya. Tercatat ada dua orang penanya dalam sesi tersebut.
Pertanyaan pertama diajukan mahasiswi bernama Siti Azizah. Perempuan berjilbab tersebut menanyakan alasan MK tak memiliki cabang di daerah layaknya pengadilan negeri maupun pengadilan agama. Dirinya juga bertanya perbedaan mendasar antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Faiz menyatakan MK Indonesia mengadopsi model sentralistik. Artinya MK tidak membuka perwakilan di daerah. Model sentralistik juga lazim digunakan di mayoritas seluruh negara yang memiliki lembaga sejenis MK. Dengan tersentralistik, ia menjelaskan, penanganan perkara menjadi lebih efektif.
“Di MK Jerman sebenarnya memiliki perwakilan di daerah. Namun tetap dalam implementasinya cabang di sana sebatas membantu saja secara administratif,” kata dia.
Terkait perbandingan MA dan MK, Faiz menyatakan perbedaannya dari sisi jenis pengadilan. Yaitu MK tergolong sebagai court of justice, sedangkan MA sebagai court of law. MK berbicara lebih substansial mengenai keadilan. Adapun MA lebih kepada teknis keberjalanan suatu undang undang.
Pertanyaan berikutnya datang dari mahasiswa bernama Rahmat Agung. Dirinya menyinggung tentang UU SJSN yang menurutnya berpotensi melanggar UUD 1945. Selain itu, ia juga bertanya apakah MK melakukan tugas sosialisasi tentang undang-undang.
“Hakikatnya semua undang-undang bisa diuji di MK. Namun setiap pemohon wajib membuktikan adanya kerugian konstitusional akibat pemberlakuan undang-undangitu,” ujar Faiz menjawab pertanyaan.
Mengenai sosialisasi undang-undang, dia menegaskan itu bukan ranah kerja MK, tetapi merupakan tugas eksekutif selaku pihak yang menjalankan undang-undang. MK, imbuhnya, tugasnya melakukan sosialisasi putusan yang telah dibuatnya saja. (ars/lul)