Sebanyak kurang lebih 50 orang mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Universitas PGRI Yogyakarta (UPY) mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perdalam ilmu seputar kewenangan MK. Kunjungan para mahasiswa yang didampingi langsung oleh Rektor UPY Buchori tersebut disambut langsung oleh Ery Satria Pamungkas selaku Panitera Pengganti (PP) MK, Rabu (11/5).
Bertempat di Aula Lantai Dasar Gedung MK, Buchori yang juga bertindak sebagai moderator dalam kunjungan tersebut menyampaikan tujuan kedatangan para mahasiswa PKn UPY. Menurut pengakuan Buchori, para mahasiswa sangat minim memiliki pengalaman praktis. Selama ini, lanjut Buchori, mahasiswa hanya memperoleh informasi seputar MK dari kegiatan belajar-mengajar di kelas. Oleh karena itu, Buchori berharap kunjungan kali ini dapat menambah wawasan para calon guru tersebut.
“Kemarin sebelum berangkat ke Jakarta, saya sempat ditanya oleh mahasiswa persoalan seputar MK. Saya katakan jawaban saya ditunda terlebih dulu untuk nanti mendapatkan jawaban langsung oleh sumber dari MK. Saya harap kunjungan ini dapat menambah informasi bagi para mahasiswa,” jelas Buchori.
Usai penjelasan tersebut, tiba giliran untuk Ery menyampaikan paparan materi seputar MK dan kewenangannya. Ery menjelaskan bahwa setelah perubahan UUD 1945 yang ketiga, MK hadir dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA), MK merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Setelah amandemen, kalau dulu ada lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, setelah perubahan UUD 1945 semua lembaga negara menjadi sejajar posisi dan kedudukannya. Pembagiannya bukan pembagian kekuasaan lagi, tapi pembagian berdasarkan fungsi,” jelas Ery.
Meski MA dan MK merupakan pelaku kekuasaan kehakiman, kedua lembaga itu memiliki kewenangan yang berbeda. Ery menjelaskan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh MK diatur langsung oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan dimaksud yaitu, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU).
Selain kewenangan, MK juga memiliki satu kewajiban yang diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Dalam pasal tersebut MK diwajibkan untuk memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berat seperti korupsi dan penyuapan.
Terkait kewajiban MK dalam perkara impeachment atau pemakzulan tersebut, Ery menjelaskan bahwa sebelum MK hadir dalam sistem ketatanegaraan Indonesia proses pergantian presiden dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai aturan hukum. Namun setelah MK hadir di tengah-tengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, proses pemakzulan seorang kepala negara maupun wakilnya harus melalui mekanisme hukum.
“Pada kasus ini, MK hanya berkewajiban memberi putusan setelah terlebih dulu DPR selaku wakil rakyat menyatakan presiden atau wakilnya melakukan pelanggaran berat. Tuduhan DPR itulah yang harus dibuktikan ke MK yang nantinya akan memberikan keputusan apakah tudingan tersebut benar atau salah,” urai Ery di hadapan para mahasiswa berjaket almamater berwarna biru gelap itu.
Sejarah
Pada kesempatan tersebut, Ery juga menjelaskan sejarah pembentukan MK. Awalnya, ide pembentukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review (banding undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, red) secara teoritis diperkenalkan oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen. Saat itu, terang Ery, Kelsen menyatakan bahwa suatu produk hukum harus dapat diuji apakah sesuai konstitusi atau tidak. Oleh karena itu, dunia mencatat MK pertama yang dibentuk yaitu MK Austria.
“Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK. Hari kelahiran MKRI ditetapkan pada 13 Agustus 2003 sesuai tanggal pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK,” terang Ery.
Lebih lanjut, Ery menguraikan sejarah judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat jauh sebelum MK pertama berdiri. Saat itu Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika Serikat mengeluarkan putusan dalam perkara “Marbury Vs Madison” yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. (Yusti Nurul Agustin/lul)