Frasa “atau orang lain atau suatu korporasi”dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menimbulkan kerancuan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk itu, aturan tersebut harus dikoreksi. Hal ini disampaikan oleh Pakar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Indra Perwira dalam sidang uji UU Tipikor yang digelar pada Selasa (10/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon, Perwira menjelaskan dalam praktiknya, sejak terbitnya UU Tipikor, pejabat atau badan administrasi cenderung tidak berani membuat freisse emerssen karena takut terjerat tindak pidana korupsi. Padahal dari perspektif hukum administrasi, pejabat atau badan administrasi yang tidak melakukan tindakan padahal seharusnya dia melakukannya dalam rangka pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak masyarakat, maka itu termasuk melalaikan kewajiban hukumnya.
“Tapi sejak ada Undang-Undang Tipikor, banyak pejabat administrasi melalaikan kewajibannya, hanya karena takut terkena terjerat oleh Pasal 2 dan Pasal 3 tadi,” ujarnya dalam sidang perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016 di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Jika ada kesalahan administrasi dari kebijakan yang diambil, lanjut Perwira, terhadap kesalahan administrasi tersebut dilakukan perbaikan atau penyempurnaan administrasi, bukan berurusan dengan pidana. Apabila dalam pemeriksaan itu diduga ada unsur tindak pidana delik, maka atas permintaan penyidik, dapat dilakukan pemeriksaan untuk tujuan tertentu yang disebut dengan investigation audit.
“Kesalahan administrasi tidak serta-merta mengandung perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) tadi karena perbuatan melawan hukum itu dapat dilakukan tanpa adanya kesalahan administrasi,” terangnya.
Permohonan tersebut diajukan oleh 6 orang pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Para pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya Heru Widodo, menyampaikan dalil permohonannya. Menurut Pemohon, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi”dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, Heru menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)