Pelaku pembangunan atau pengembang (developer) rumah susun (rusun) wajib memfasilitasi pembentukkan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) meski satuan rumah susun (sarusun) belum sepenuhnya terjual. Hal tersebut dinyatakan dalam Putusan Mahkamah terhadap permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun. Putusan perkara Nomor 21/PUU-XIII/2015) tersebut diucapkan pada Selasa (10/5) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagaian permohonan tujuh orang Pemohon yang memiliki kedudukan hukum sebagai pemilik sarusun itu. Sebagian permohonan yang dikabulkan Mahkamah, yaitu gugatan terkait inkonstitusionalitas Pasal 75 ayat (1) UU Rusun.
“Amar Putusan. Mengadili, menyatakan. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) sepanjang frasa ‘Pasal 59 ayat (2)’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa yang dimaksud dengan “masa transisi” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tidak diartikan 1 (satu) tahun tanpa dikaitkan dengan belum terjualnya seluruh satuan rumah susun,” tegas Arief.
Pasal 75 ayat (1) memerintahkan pelaku pembangunan atau pengembang (developer) wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir. Pasal 59 ayat (2) menyatakan masa transisi berakhir paling lama satu tahun sejak penyerahan pertama kali pemilik Sarusun.
Ketentuan tersebut dianggap oleh para Pemohon telah melemahkan posisi pemilik sarusun. Terlebih, penyerahan kewajiban fasilitasi pembentukan PPPSRS kepada pelaku pembangunan rusun menurut para Pemohon justru menghambat dan menghalangi pemilik sarusun untuk melaksanakan kewajibannya membentuk PPPSRS. Seharusnya, ingin Pemohon, pembentukan PPPSRS tidak perlu difasilitasi oleh pelaku pembangunan.
Pembentukan PPPSRS digadang-gadang mengandung nilai strategis dan ekonomis. Sebab, organisasi PPPSRS merupakan organ yang dibentuk untuk mengorganisasi pengelolaan rumah susun yang meliputi kegiatan operasional pemeliharaan dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Dengan adanya peran strategis dan nilai ekonomis yang dimiliki PPPSRS, para Pemohon takut developer Rusun akan akan memanfaatkan penguasaan atas PPPSRS untuk meraup keuntungan.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah menyatakan dalil tersebut beralasan menurut hukum sebagian. Sebab, Mahkamah melihat ketidakpastian hukum yang dirasakan para Pemohon bukan terjadi akibat adanya frasa “pelaku pembangunan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rusun yang diartikan Pemohon sebagai selain Pemerintah. Menurut Mahkamah, ketidakpastian hukum tersebut terjadi akibat adanya pertentangan antara Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dan Penjelasannya dalam mendefinisikan pengertian “masa transisi”.
Seperti diketahui, Pasal 59 ayat (2) menyatakan masa transisi ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali Sarusun kepada pemilik. Pasal 59 ayat (2) kemudian diberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “masa transisi” adalah masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual. Hal tersebut semakin membingungkan ketika Pasal 75 ayat (1) memerintahkan pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum “masa transisi” sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir.
Menyikapi hal tersebut, Mahkamah menyatakan adanya perbedaan bahkan pertentangan tersebut dapat dijadikan pembenaran oleh pelaku pembangunan. “Adanya perbedaan, bahkan pertentangan, antara bunyi Pasal 59 ayat (2) UU Rumah Susun dan penjelasannya itu dalam mendefinisikan ‘masa transisi’ dapat dijadikan pembenaran oleh pelaku pembangunan untuk bertindak selaku pengelola dengan alasan Sarusun belum seluruhnya terjual meskipun sudah melampaui jangka waktu satu tahun sementara ia diwajibkan oleh Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun untuk menjadi pengelola selama masa transisi,” jelas Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan kutipan pertimbangan hukum Mahkamah.
Pemerintah Memfasilitasi
Menghadapi situasi yang demikian, Pemerintah meski bukan pelaku pembangunan sarusun komersil, tetap harus turut bertanggung jawab untuk memfasilitasi pembentukan PPPSRS. Hal tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah ketika telah terbukti bahwa pelaku pembangunan telah dengan sengaja menyalahartikan tafsir kata “memfasilitasi” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rusun sehingga pelaku pembangunan tidak lagi memfasilitasi pembentukan PPPSRS.
Pendapat Mahkamah tersebut didasari oleh argumentasi yang bertolak dari fungsi pemerintah untuk melakukan pembinaan yang mencakup beberapa aspek, antara lain, pengendalian dan pengawasan. “Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dimaksud, khususnya terkait dengan aspek pengendalian dan pengawasan, apabila terdapat cukup bukti di mana pelaku pembangunan sengaja menafsirkan pengertian ‘memfasilitasi’ dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan maksud ketentuan tersebut maka Pemerintah dibenarkan oleh Undang-Undang a quo untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk menjamin pelaksanaan UU Rumah Susun sesuai dengan maksud dan tujuannya,” tambah Palguna. (Yusti Nurul Agustin/lul)