Sidang lanjutan uji materi Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) dengan perkara No. 34/PUU-XIV/2016 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/5). Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon diwakili Heru Widodo menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan sesuai saran Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya.
“Kami sudah memperbaiki permohonan dengan lebih menguraikan dan mempertajam apa kerugian konstitusional Pemohon,” kata Heru kepada pimpinan sidang, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul yang didampingi Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Heru menjelaskan, dengan tidak dimasukkannya syarat orang asli Papua sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di Provinsi Papua dalam ketentuan Pasal 12 UU Otsus Papua, Pemohon sebagai orang asli Papua, juga sebagai wakil Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua, memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua.
“Pemohon merasa bahwa hak konstitusional orang asli Papua telah direduksi, sehingga sangat merugikan Pemohon. Karena potensi Pemohon untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota menjadi sangat kecil,” urai Heru yang juga menyampaikan perbaikan permohonan lainnya, misalnya dengan mempertajam kedudukan hukum, petitum, dan lainnya.
Seperti diketahui, Pemohon yang terdiri dari Hofni Simbiak, Robert D. Wanggai, Benyamin Wayangkau sebagai putra asli daerah Papua mendalilkan bahwa otonomi khusus Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan ini juga merupakan kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua. Termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang asli Papua melalui para wakil adat, agama dan kaum perempuannya.
Menurut Pemohon, keberadan pasal yang diuji merugikan Pemohon atau setidak-tidaknya berpotensi merugikan karena membeda-bedakan persyaratan untuk menjadi kepala daerah kabupaten/kota dengan tingkat provinsi serta berpotensi mempersempit daya saing para Pemohon menjadi kepala daerah. Sedangkan tujuan dari pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus tidak lain untuk menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama.
Pemohon berdalih, pengutamaan orang asli Papua dalam konteks pemilihan kepala daerah di wilayah Papua sesuai dengan semangat UU Otsus Papua, dan secara konstitusional perlakuan khusus tersebut dapat dibenarkan. Namun, apabila terdapat ketentuan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal tersebut melanggar HAM dan hak konstitusional warga negara, sehingga dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/lul)