Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Sidang perkara No. 138/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Selasa (3/5) di Ruang Sidang MK. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pemohon.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menjelaskan soal kedaulatan petani kecil. “Apakah kedaulatan petani ini diakui secara internasional? Bahwa petani memiliki hak. Hak untuk apa? Hak untuk menggunakan dan memasarkan benih. Jadi ini hak yang dimiliki oleh petani-petani kecil di seluruh dunia. Lalu mengapa benih?” ungkap Dwi kepada Majelis Hakim.
Dwi menjelaskan, benih menentukan 60 persen keberhasilan atau kegagalan usaha tani. Namun, ia mempertanyakan apakah petani kecil memiliki akses terhadap benih-benih tersebut. “Lalu bagaimana benih yang asalnya dari petani kecil, dari komunitas lokal, dari penduduk asli? Apakah petani memiliki akses terhadap benih-benih tersebut? Jawabannya, ya. Walaupun ada pertanyaan besar, sampai sejauh mana? Salah satu contoh, hampir 80 persen benih hortikultura saat ini dikuasai oleh penanam modal asing. Kemudian penguasaan itu mengerucut ke multinasional dan pemodal,” papar Dwi.
Dwi mengimbau semua pihak untuk memberdayakan petani kecil dan bersama-sama membangun para petani dari bawah. Menurutnya, Undang-Undang Perkebunan saat ini belum berpihak kepada petani kecil. Ia pun mencontohkan satu kisah menyedihkan yang menimpa Tukirin Budi Kuncoro, petani kreatif yang harus masuk penjara lantaran menuntut hak kepada pemerintah karena sebagian besar pemasaran benih dikuasai penanam modal asing.
“Seharusnya Undang-Undang Perkebunan berpihak kepada petani. Jika Indonesia ingin maju, Undang-Undang Perkebunan perlu melindungi hak petani. Hak untuk apa? Pertama, hak melakukan pemuliaan tanaman. Kedua, hak mengembangkan benih dari berbagai sumber, baik publik maupun swasta. Karena apapun sumber utama benih sebelumnya adalah dari petani itu sendiri. Petani harus memiliki hak untuk mengembangkan benih dari berbagai sumber, baik publik maupun swasta. Juga hak untuk menyimpan benih dan hak untuk memasarkan benih. Adopsi kedaulatan petani atas benih, akan menyelamatkan masa depan pertanian dan perkebunan kita,” urai Dwi.
Sementara itu, praktisi pertanian Imam Syafi’i menyampaikan pandangannya terhadap kemitraan dalam usaha perkebunan. Pasal 57 ayat (1) UU Perkebunan menyebutkan soal pemberdayaan usaha perkebunan. Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan usaha perkebunan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat, dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan
Sedangkan Pasal 57 ayat (2) UU Perkebunan mengatur tentang pola kemitraan yang dimaksud dengan ayat (1) yaitu penyediaan sarana produksi, produksi pengolahan, dan pemasaran, kemudian kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Kemudian ayat (3) menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan usaha perkebunan sebagaimana yang dimaksud ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah.
“Saya menilai bahwa apa yang seharusnya dilakukan dalam pola kemitraan adalah berdasarkan kesepakatan para pihak yang tentunya atas dasar kebersamaan partisipasi. Pola kerja sama yang telah ada misalnya pola revitalisasi perkebunan, atau bisa saja para pihak bersepakat untuk membangun pola kerja sama berbasis syariat sebagaimana yang sekarang lagi marak pembangunan rumah berbasis syariat. Siapa tahu ini menjadi alternatif untuk undang-undang ke depan yang mana bumi ini milik Tuhan. Kalau diatur dengan cara Tuhan, Insya Allah akan lebih berkah,” papar Imam.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli nasib petani kecil, di antaranya Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch (PSW), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Pemohon menguji Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 107, dan Pasal 114 ayat (3) Undang-Undang Perkebunan. (Nano Tresna Arfana/lul)