Pengalihan pengurusan pendidikan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi tidak menunjukkan inkonsistensi pengaturan yang berdampak pada ketidakpastian hukum. Demikian diungkapkan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Sigit Pujianto yang mewakili Pemerintah dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Sidang ketiga perkara dengan Nomor 30/PUU-XIV/2016 ini digelar pada Rabu (2/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Hal tersebut, lanjut Pujianto, lantaran urusan otonomi daerah tidak bersifat statis, tetapi berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika. Hal itu terutama disebabkan oleh adanya perubahan yang timbul dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga pengaturan mengenai penyelenggaraan otonomi daerah memberikan kemungkinan penambahan penyerahan urusan kepada daerah dan sebaliknya. Selain itu, lanjutnya, pengalihan ini tidak akan berpengaruh pada hak konstitusional warga dalam mendapatkan pendidikan.
“Beralihnya urusan pendidikan menengah dari pemerintah daerah kabupaten/kota menjadi urusan daerah provinsi tidaklah menghilangkan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan tidak ada korelasinya sama sekali bahwa pengalihan urusan tersebut menyebabkan warga negara tidak lagi berhak mendapatkan pendidikan,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Menurut Pemerintah, salah satu alasan mendasar perlunya pengaturan mengenai pembagian urusan pemerintahan diubah, karena Pemerintah berpendapat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan. Peningkatan penyelenggaraan pemerintahan tersebut dilakukan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, Pemerintah berpandangan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan berada di tangan presiden, sehingga merupakan pilihan hukum Pemerintah untuk menentukan di tingkat pemerintahan mana urusan pendidikan diatur. “Pilihan kebijakan pemerintah termasuk terkait penyelenggaraan pendidikan menengah merupakan pilihan hukum atau open legal policy dari pemerintah dan pilihan kebijakan yang demikian tidaklah dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang, dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang,” tandasnya.
Permohonan perkara Nomor 30/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dan sejumlah warga Surabaya yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Dalam pokok permohonannya, Samanhudi berkeberatan dengan aturan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan. Menurut pemohon, aturan yang mengalihkan pengelolaan pendidikan menengah dari Pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi tersebut mengakibatkan pengelolaan unsur manajemen pendidikan menengah menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan.
Sementara Warga Surabaya menilai ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda berpotensi menghilangkan jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU 23/2014 dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam jaminan di bidang pendidikan. (Lulu Anjarsari/lul)