Kurangnya jumlah hakim pengadilan pajak akan berimbas pada penerimaan keuangan negara, apalagi sengketa pajak di Pengadilan Pajak tercatat semakin bertambah setiap tahunnya. Hal itu disampaikan Mantan Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung Widayanto Sastro Hardjono dalam sidang uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UPP). Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 6/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Senin (2/5) di Ruang Sidang MK.
Sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon, Hardjono menerangkan tercatat sebanyak 16.047 perkara tertunggak di Pengadilan Pajak karena keterbatasan jumlah hakim. Seharusnya, dibutuhkan setidaknya 90 hakim pengadilan pajak. Namun pada 2016, penambahan yang dilakukan hanya 46 hakim. Itupun diperparah dengan adanya aturan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU 14/2002 yang berisi mengenai pembatasan masa jabatan dan periodisasi hakim pengadilan pajak.
“Jumlah hakim di pengadilan pajak pada faktanya tidak selalu memenuhi kebutuhan yang diperlukan, hal tersebut karena dampak Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak yang menyebabkan tiap tahunnya terdapat kekurangan jumlah hakim,” jelasnya.
Ia menjelaskan untuk batas usia pensiun 65 tahun dalam ketentuan UPP, terdapat hakim yang masih produktif. Namun, karena batasan periodisasi pada Januari 2016 membuat sejumlah hakim habis periode jabatannya. “Seharusnya, menurut perkiraan saya, diperlukan 90 hakim untuk 30 majelis sesuai dengan jumlah perkara yang setiap tahun meningkat. Namun saat ini hanya ada 46 hakim,” paparnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dalam keterangannya, Hardjono juga menerangkan jika diteruskan hal ini akan berdampak pada penerimaan keuangan Negara. Hal tersebut lantaran dalam beracara di pengadilan pajak ada ketentuan di dalam KUP atau Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyatakan apabila putusan pengadilan pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan pembayaran pajak sesuai putusan pengadilan pajak akan dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga 2% sebulan, paling lama 24 bulan.
“Jadi dihitungnya sejak pihak yang berperkara membayar hal itu apabila dinyatakan lebih oleh pengadilan pajak, maka semua harus dikembalikan plus bunga 2% per satu bulan. Hal ini tentunya akan sangat merugikan keuangan negara karena mengingat banyaknya tumpukan tunggakan perkara berjalan yang seharusnya bisa diselesaikan cepat,” tuturnya.
Sementara Mantan Ketua PTUN DKI Jakarta Sudarto Radyosuwarno menganggap aturan yang dimohonkan pemohon bersifat diskriminatif karena membedakan antara hakim pengadilan pajak dengan hakim lainnya, seperti hakim PTUN maupun hakim peradilan umum di lingkungan Mahkamah Agung. Ia menyarankan perlu adanya sinkronisasi peraturan hukum dan tugas tanggung jawab sama kedudukan status perlakuan harus sama pula di pengadilan tinggi di tiga lingkungan tersebut.
“Status daripada pengadilan pajak adalah merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha negara kedudukan adalah sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, secara institusi pengadilan pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah sama, sederajat, setingkat dengan pengadilan tinggi di tiga lingkungan,” terangnya dalam kapasitas sebagai ahli dari Pemohon.
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Pajak tercatat sebagai pemohon mendalilkan berlakunya Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU 14/2002 yang berisi mengenai pembatasan masa jabatan dan periodesasi hakim pengadilan pajak membatasi dan menghalangi kemerdekaan kehakiman dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 8 ayat (3) menyatakan “Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. SedangkanPasal 13 ayat (1) huruf c menyatakan “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena: c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun”.
Pemohon yang menjelaskan bahwa pengadilan pajak adalah peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Namun pengadilan tinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 9 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa untuk ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibatasi usia hingga 67 tahun dengan periodisasi 2 kali masa jabatan. Ia menerangkan bahwa saat ini pengadilan pajak memiliki 56 hakim, namun dengan adanya aturan tersebut, maka akan berkurang 14 hakim pada tahun 2016 menjadi 32 hakim. Hal ini memberatkan kinerja pengadilan pajak dengan berkurangnya hakim. (Lulu Anjarsari/lul)