Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Hadir dalam sidang Perkara teregistrasi Nomor 136 dan 137/PUU-XIII/2015 tersebut dua orang ahli, yakni Dosen Hukum Tata Negara Universitas Lambung Mangkurat M. Rifqinizamy Karsayuda dan Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin Abrar Saleng.
Dalam keterangannya sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon, Rifqinizamy mengungkapkan keberadaan pemerintahan daerah memiliki hak konstitusional untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Hal tersebut termaktub dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945.
Menurut Rifqinizamy, hak konstitusional itu menjadi tereduksi dengan keberadaan ketentuan dalam UU Pemda, khususnya Pasal 9 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5); Pasal 11 ayat (1), (2), (3); Pasal 12 ayat (1), (2), (3); Pasal 13 (1), (2), (3), (4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 16 ayat (1) dan (2); Pasal 17 ayat (1), (2), (3).
“Pasal-pasal a quo membagi urusan pemerintahan berdasarkan urusan pemerintahan absolut, konkruen dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut ialah segala urusan yang menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat yang terdiri atas politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, agama dan yustisi,” papar Rifqinizamy kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Sementara, Abrar Saleng menerangkan bahwa ketentuan UU Pemda terbalik dengan ketentuan UUD 1945. “Seakan-akandikatakan pemerintah pusat menjalankan pemerintahannya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang diberikan kepala daerah. Sering kita mengatakan dulu kalau otonomi daerah itu sama dengan muamalah dalam agama. Semua bisa dilakukan kecuali yang dilarang. Sedangkan sentralistik itu bersifat ibadah. Semua dilarang kecuali diperintahkan,” urai Abrar.
Lebih lanjut, ia menjelaskan otonomi daerah hanya ada dalam negara kesatuan dan titik berat otonomi daerah adalah pada pemerintah kabupaten atau kota. “Tidak ada otonomi daerah dalam negara federal. Kenapa? Karena kita dibangun atas keberagaman dan daerah itu tidak mesti harus sama dan mempunyai karakteristik yang berbeda,” tandas Abrar.
Tidak Efektif dan Efisien
Samsu Alam, saksi yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 136, menceritakan pengalamannya saat menjadi Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Donggala. Menurutnya, hal tersulit saat menjabat posisi itu adalah urusan permohonan izin usaha pertambangan. Kesulitan tersebut, menurutnya, lantaran terkendala izin yang tidak selesai sampai dialihkan ke pemerintah provinsi. “Padahal kalau sesuai dengan ayat (4) Pasal 13 UU Pemda, menurut saya akan lebih efektif diselesaikan di pemerintah kabupaten. Karena kaitannya urusan pemerintahan yang lokasinya berada dalam kabupaten,” jelas Samsu.
Sedangkan saksi yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 137 Edy Alwi menuturkan bahwa setelah turunnya UU Pemda,nelayan tradisional sangat terganggu dan tersingkirkan. Hal tersebut lantaran kurangnya pengawasan dari pemerintah provinsi yang memiliki kewenangan mengelola daerah penangkapan ikan. Menurutnya, jarak yang terlampau jauh menjadi kendala utama kurangnya pengawasan tersebut.
“Banyak nelayan yang berskala besar, maka kami nelayan tradisional sangat terganggu. Akibatnya terjadi bentrok fisik sesama nelayan ini sampai ada terjadi bakar-bakaran di laut. Sehingga sampai jatuh korban dikarenakan tidak ada lagi pengawasan dari kabupaten,” ungkap Edy Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia yang tinggal di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara 136 adalah Kasman Lassa, Bupati Donggala. Ia mempersoalkan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1) UU No. Pemda serta lampiran UU Pemda. Menurutnya, ketentuan tersebut telah memangkas hak-hak serta kewenangan pemerintah kabupaten dalam mengelola sumber daya alam yang berada dalam wilayah kabupaten yang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan daerah. Pemohon beranggapan, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945.
Menurut Pemohon, penjabaran porsi urusan pemerintahan justru dicerai-berai melalui materi muatan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1) UU Pemda serta lampiran UU Pemda.
Sedangkan Pemohon Perkara 137 adalah Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Para Pemohonmendalilkan bahwa otonomi daerah dalam UU Pemda merupakan otonomi terbatas karena terdapat pembagian urusan pemerintahan secara kategoris yakni absolut, konkuren, dan pemerintah pusat dalam Pasal 9 UU No. 23/2014. Bahkan pengkategorian ini dirinci secara spesifik dalam pasal-pasal berikutnya yaitu Pasal 11 ayat (1), (2), (3), Pasal 12 ayat (1), (2), (3), Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 15 ayat (1), (2), (3), (4), (5), Pasal 16 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal 21 dan dalam Lampiran UU, sehingga hampir-hampir tidak ada lagi ruang terbuka bagi pemerintahandaerah dalam pengurusan sendiri rumah tangganya kecuali sudah ditentukan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah serta Peraturan Presiden. (Nano Tresna Arfana/lul)