Ketiadaan batas waktu pelimpahan perkara dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebabkan adanya masalah penegakan hukum di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Dosen Ilmu Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana dalam sidang uji materiil KUHAP yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan yang teregistrasi dengan perkara Nomor 123/PUU-XIII/2015 dan 130/PUU-XIII/2015 tersebut masing-masing diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dan Choky Risda Ramadhan, Carlos Boromeus Beatrix Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto yang tergabung dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI).
Wibisana selaku ahli yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 mengungkapkan data, terdapat sekitar 44.000 kasus pidana yang terkatung-katung karena tidak adanya batas waktu pelimpahan perkara dari penyidik kepada kejaksaan dalam KUHAP. Hal tersebut dinilai Wibisana memperlihatkan rendahnya penegakkan hukum, namun anggaran bagi para penegak hukum tetap dan bahkan cenderung bertambah.
“Kalau saya menunjukkan dari jumlah tindak pidana yang terdeteksi ternyata penyelesaian tindak pidananya hanya hampir setengahnya. Ada perkara yang terkatung-katung sebanyak 44.000 perkara, dalam artian tidak jelas, tidak dikembalikan, gitu lho. Tidak dikembalikan, diperbaikilah berkas perkaranya. Buat saya menunjukkan kemudian ada masalah dalam probabilitas penegakkan hukum,” paparnya dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Perkara Terbengkalai
Dalam sidang tersebut, Pemohon juga menghadirkan saksi Tri Wahyu yang merupakan Manajer Eksekutif Forum LSM Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 2004, Wahyu mengadvokasi satu kasus korupsi dana purna tugas DPRD Kota Yogyakarta Tahun 1999-2004 senilai Rp3 miliar, namun hingga saat ini, ia belum mendapat informasi sejauh mana penanganan perkaranya. “Jadi sejak pemeriksaan sebagai tersangka Agustus 2004 di Polda DIY sampai hari ini saya belum pernah menerima atau kemudian mendapat informasi apakah sudah dikirimkan kasus saya ke Kejaksaan,” ujarnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengujikan beberapa norma, yaitu Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i. Menurut Pemohon perkara 123/PUU-XIII/2015, frasa “segera” dalam UU a quo tidak memberikan jangka waktu yang pasti, sehingga tidak menjamin dan memberikan ruang bagi seorang tersangka untuk mendapatkan kepastian hukum. Bahkan dalam rancangan KUHAP, permasalahan mengenai batasan jangka waktu penyidikan pun mendapat perhatian.
Hak tersangka untuk diperiksa penyidik, dimajukan dan diadili di persidangan dalam hukum acara saat ini hanya berupa kata “segera”. Sedangkan dalam rancangan KUHAP, diatur lebih limitatif, yakni pemeriksaan oleh penyidik dilakukan satu hari setelah ditangkap/ditahan. Penyerahan kepada penuntut umum adalah enam puluh hari (jika ditahan) dan sembilan puluh hari (jika tidak ditahan), sedangkan hak untuk segera diadili di persidangan adalah empat belas hari dan dapat diperpanjang selama empat belas hari.
Pemohon menilai keberadaan aturan tersebut dapat menghambat upaya Pemohon dalam menjaga dan menegakkan nilai-nilai konstitusionalisme dengan berperan aktif melakukan advokasi.
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 menilai, sejumlah ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP semakin melemahkan peran penuntut umum. Dalam proses prapenuntutan seringkali timbul kesewenangan penyidik dan berlarutnya penanganan tindak pidana dalam proses penyidikan. Seperti yang dialami Pemohon, Usman Hamid yang menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Sementara Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Namun, Andro mencabut keterangan dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.
Ketentuan Pasal 109 ayat (1) menyebabkan penyidikan dilakukan tanpa kontrol dan pengawasan penuntut umum karena tidak jelasnya kapan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum. Ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) juga dinilai bersifat multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan seringkali melanggar hak-hak konstitusional. (Lulu Anjarsari/lul)