Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung Rochadi Tawaf menyampaikan salah satu hal yang membahayakan dengan masuknya ternak hidup dari negara yang statusnya belum bebas penyakit hewan menular utama adalah berpotensi tetular penyakit mulut dan kuku (PMK). Hal tersebut disampaikan Rochadi dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Ruang Sidang MK, Rabu (27/4).
“Terjadinya epidemi PMK akan mengakibatkan terjadi kerugian sosial ekonomi yang sangat besar,” kata Rochadi selaku ahli yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Rochadi menjelaskan berdasarkan sensus pertanian oleh Biro Pusat Statistik (BPS) 2013, sebanyak 98% ternak sapi dikuasai oleh usaha peternakan rakyat. Usaha tersebut berada di pedesaan sebagai usaha ternak yang bersifat tradisional, terkendala teknologi, skala kecil, dan cenderung digunakan sebagai keperluan adat budaya dan keagamaan.
“Apabila kita melihat penyerapan tenaga kerja di sektor ini, tahun 2015 sebanyak 4,2 juta orang terserap atau sekitar 11% dari total tenaga kerja sektor pertanian. Dengan tingkat pendidikan sangat rendah yaitu 37,4 % berpendidikan SD,” ungkap Rochadi.
Berdasarkan hal tersebut, tegas Rochadi, kondisi peternakan rakyat Indonesia sangat rentan terhadap berbagai intervensi, khususnya penyakit. Oleh sebab itu, peternakan Indonesia perlu diproteksi. Hal demikian sejalan dengan konsideran Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan butir b, yaitu “bahwa dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, upaya pengamanan maksimal terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak hewan, dan produk hewan, pencegahan penyakit hewan …”
“Konsideran ini mengisyaratkan bahwa tiada pilihan lain bagi Pemerintah, selain harus bertindak melakukan pengamanan maksimal atau maximum security terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan peternakan,” urai Rochadi.
Produksi Rendah
Sementara itu, Tri Satya Putri Naipospos selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah mengungkapkan kemampuan produksi daging dalam negeri masih sekitar 439.053 ton dibandingkan dengan kebutuhan nasional sebanyak 674.059 ton. “Berarti ada kekurangan pasokan. Kita ketahui bersama bahwa tingkat konsumsi daging sapi kita sekarang berkisar 2,61 kg per kapita, dengan demikian Indonesia adalah yang terendah di Asia Tenggara,” jelas Tri Satya.
Oleh karena itu, menurutnya, Pemerintah tengah mencari alternatif sumber penyediaan pasokan ternak dan produk hewan dari negara-negara yang biasa memasok atau biasa berdagang dengan Indonesia. Peluang itu dinilai Tri Satya harus diambil guna mencegah penularan dari negara lain yang mungkin saja belum bebas PMK.
“Kalau kita tahu, ada banyak negara yang sekarang belum bebas tetapi ada kemajuan dalam hal menciptakan zona-zona bebas. Pertanyaannya adalah sekarang, apakah zona bebas penyakit yang diinginkan pemerintah itu bisa kita katakan aman atau tidak? Apakah mendukung dalil Pemohon bahwa dengan memasok produk dari zona bebas dalam negara tertular akan memudahkan masuknya virus PMK ke Indonesia,” papar Tri sebagai pakar dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies.
Pemerintah juga menghadirkan Ishana MahisaselakuKetua Umum Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia. Sebagai saksi, ia menjelaskan pemasukan bahan baku daging keperluan industri hanya didapatkan dari negara bebas PMK. Pada saat ini, industri pengolahan daging dalam kondisi kebimbangan setelah pihaknya mendapatkan data dari BPS yang menunjukkan peningkatan impor daging olahan melonjak tajam sejak 2012 sampai dengan 2015.
Dikatakan Ishana, dalam lima tahun terakhir terjadi kenaikan harga daging sapi beku impor untuk keperluan industri. Akibatnya, perusahaan yang kebanyakan berbasis daging sapi mulai bergeser ke produk yang berbasis ayam. “Dari pengalaman kami, anggota-anggota yang berbasis ayam itu memiliki pabrik lebih dari satu. Kenapa itu terjadi? Karena memang ketersediaan bahan baku ayam lebih banyak ketimbang daging sapi atau daging merah,” ucap Ishana.
Sebelumnya, sejumlah dokter hewan, peternak, dan pedagang hasil ternak, yaitu Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, Rachmat Pambudy, Mutowif, dan Dedi Setiadi merasa dirugikan dan/atau potensial dirugikan hak-hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan zona base di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 36C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kerugian tersebut lantaran adanya prinsip minimum security dengan pemberlakuan zona. Hal tersebut dinilai Pemohon mengancam kesehatan ternak dan menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dinilai semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah ketergantungan yang tinggi pada impor ternak dan produk ternak. (Nano Tresna Arfana/lul)