Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Pemprov DKI Jakarta) pada Selasa (26/4) siang.
Pemohon adalah Antonius Iwan Dwi Laksono yang menjadi warga DKI Jakarta selama 16 tahun dan menjadi pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Diwakili Muhammad Sholeh selaku kuasa hukum, Pemohon menilai ketentuan Pasal 11 UU Pemrov DKI Jakarta sebagai pemborosan anggaran negara.
“Menurut Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut, mekanisme penentuan pemilihan itu harus 50 persen. Jika tidak tercapai 50 persen, harus ada putaran kedua. Sementara UU No. 8 Tahun 2015 mekanismenya menggunakan suara terbanyak sebagai pemenang,” kata Muhammad Sholeh kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Menurut Pemohon, Pasal 11 UU Pemprov DKI Jakarta menjadi persoalan karena anggaran pada Putaran Kedua Pilkada 2012 DKI Jakarta mencapai Rp200 miliar. Sehingga Pemohon beranggapan, hal tersebut menjadi pembuangan uang negara yang sia-sia. Pemohon sebagai pemilih, sebagai warga negara pembayar pajak, merasa dirugikan dengan ketentuan tersebut. Anggaran putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, menurut Pemohon, jauh lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat seperti biaya pendidikan, kesehatan, perumahan maupun kesejahteraan masyarakat lainnya.
Hal lainnya, Pemohon berdalih bahwa Pasal 11 UU Pemprov DKI Jakarta tidak mengakomodasi calon tunggal dalam Pilkada DKI Jakarta. Padahal menurut Pemohon, Jakarta berpotensi untuk calon tunggal. Pemohon mencontohkan Risma sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada Surabaya pernah digagalkan oleh parpol.
“Yang kita khawatirkan, akan ada penundaan Pilkada kalau pencalonan kepala daerah digagalkan oleh parpol. Inilah perlunya diakomodir adanya calon tunggal,” tegas Muhammad Sholeh.
Pasal 11 ayat (1) UU Pemprov DKI Jakarta menyebutkan, “Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.”
Adapun Pasal 11 ayat (2) UU a quo menyebutkan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.”
Sedangkan Pasal 11 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2007 berbunyi, “Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan Pemohon agar lebih rinci menguraikan kerugian-kerugian konstitusional yang dialami sebagai perorangan warga DKI Jakarta.
“Apa kerugian konstitusional Pemohon selain pemborosan anggaran? Itu harus jelas. Yang kedua, Saudara mengatakan undang-undang a quo pernah diuji sebelumnya tapi ada perbedaan. Nah, saya belum melihat ketajaman uraian Saudara yang membedakan uji materi sebelumnya dan yang sekarang,” kata Palguna.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengomentari sistematika permohonan sudah cukup baik, bahkan menganggap Pemohon sudah berpengalaman mengikuti sidang di MK. Namun Suhartoyo menyarankan agar Pemohon lebih mempertegas objek permohonan. Lainnya, Suhartoyo menanggapi anggapan Pemohon yang menyatakan permohonannya lex specialis.
“Justru kalau permohonan ini lex specialis, mestinya Anda kemudian jangan berpikir pasal yang diuji itu harus dihilangkan. Mestinya, normanya saja yang diperbaiki tapi dalam batas-batas kewenangan Mahkamah. Jangan kemudian nanti Mahkamah menjadi positive legislator,” tandas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/lul)