Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah pada Senin (25/4) di Ruang Sidang MK. Sidang perdana perkara dengan Nomor perkara 38/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh seorang warga negara, Ropiko Paozan.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili Afdaludin mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan Atas Tanah. Pasal 20 ayat (1) huruf a menyatakan “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6”.
Pemohon merupakan pemilik sebidang tanah yang telah dibebankan hak tanggungan. Namun, tanah tersebut dijual oleh Bank Samawa Kencana tanpa melalui proses lelang dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan Atas Tanah. Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan a quo, karena tanahnya dijual tanpa melalui proses pelelangan.
“Pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 hanya memberikan kepastian hukum bagi kreditor, sehingga bertentangan antara pasal yang diuji dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah norma meteriil yang berisi perintah. Sehingga dalam aplikasi pelaksanaanya melanggar hak konstitusi warga negara Indonesia,” terang Afdaludin dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonannya. Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 20 UU ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan Atas Tanah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Nasihat Hakim
Majelis Hakim yang juga beranggotakan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan I Dewa Gede Palguna memberikan nasihat perbaikan terhadap permohonan Pemohon. Wahiduddin meminta agar Pemohon menerangkan detail mengenai kerugian Pemohon dengan berlakunya pasal a quo. Menurut Wahiduddin, belum terlihat jelas kerugian yang dialami dalam permohonannya. “Belum kuat ya bagi Mahkamah untuk melihat kejelasan mengenai kerugian yang diderita Pemohon. Oleh sebab itu, gambarkan kerugian itu secara jelas dalam permohonan ya, tidak cukup dengan paragraf ataupun ya potongan penjelasan seperti ini,” sarannya.
Sementara itu, Palguna meminta agar Pemohon melengkapi alat bukti. Menurutnya, dalam UU No.4 Tahun 1996 yang dijadikan pemohon sebagai alat bukti tidak terdapat penjelasan undang-undang. Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kerja kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)