Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji materi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945, Kamis (28/6) mulai pukul 10.00 WIB dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan untuk perkara No. 13/PUU-V/2007 dan Pemeriksaan Pendahuluan untuk perkara No. 18/PUU-V/2007. Masing-masing Pemohon dalam dua perkara ini memberikan kuasa hukumnya kepada M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., PhD., dkk.
Kedua Pemohon, Bambang Kristiono untuk perkara No. 13/PUU-V/2007 dan Eurico Guteres untuk perkara No. 18/PUU-V/2007 mengajukan uji materi Pasal dan ayat serta penjelasan yang sama, yaitu Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM.
Pasal 43 ayat (2) menyatakan: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam penjelasannya tertera: Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Bambang Kristiono, pemohon perkara No. 13/PUU-V/2007 adalah mantan anggota TNI AD dengan pangkat terakhir Mayor (Infantri) yang pernah menjadi Komandan Batalyon 42 Grup 4 Kopassus sekaligus Komandan Tim Mawar yang terlibat pada peristiwa kasus orang hilang atau Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998.
Dalam pemaparan fakta hukumnya, karena kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998 itu, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya telah menjalani hukuman penjara satu tahun delapan bulan berdasarkan putusan pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap, dan bahkan Pemohon telah dipecat dari kesatuannya. Kini, setelah selesai menjalani hukumannya, Pemohon kembali merasa terancam kebebasannya karena DPR dalam rapat paripurna 27 Februari 2007 telah membentuk panitia khusus (Pansus) mengenai penanganan hasil penyelidikan Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998 dan merekomendasikan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc atas peristiwa tersebut.
Menurut Pemohon, upaya DPR membentuk pansus ini tak lain sebagai pelaksanaan kegiatan dalam lingkup penerapan UU Pengadilan HAM. Namun, Pemohon berpendapat bahwa DPR bukanlah lembaga hukum, sedangkan pelanggaran HAM berat adalah suatu bentuk tindak pidana yang harus diproses melalui lembaga-lembaga hukum yang menyandarkan diri pada kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Selain itu, Pemohon juga menyatakan bahwa segala keputusan yang diambil DPR memiliki landasan kepentingan politik. Hal inilah yang menyebabkan Pemohon merasa khawatir jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang seharusnya Pemohon dapatkan, justru terancam oleh intervensi politik.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat (2) beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 24 dan Pasal 24A ayat (5), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, serta menyatakan pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, perkara No. 18/PUU-V/2007 diajukan oleh Eurico Guteres, mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI). Pemohon mengajukan uji materi pasal dan ayat yang sama dengan Pemohon perkara No. 13/PUU-V/2007. Selain itu, Pemohon juga memiliki alasan yang sama dengan Pemohon Bambang Kristiono, bahwa segala keputusan yang diambil DPR untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, memiliki landasan kepentingan politik. Hal inilah yang menyebabkan Pemohon merasa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang seharusnya Pemohon dapatkan, justru terancam oleh intervensi politik.
Terhadap perkara No. 13/PUU-V/2007, Panel Hakim memberikan alternatif, pertama, Pemohon dapat menarik permohonannya karena dinilai lemah dalam hal legal standing permohonan yang hanya berlandaskan pada kekhawatiran belaka tanpa bisa menunjukkan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Kedua, Pemohon Bambang Kristiono masih bisa meneruskan perkaranya yang tentunya putusan atas perkara itu akan memberikan konsekuensi bagi Pemohon perkara No. 18/PUU-V/2007 karena mengajukan uji materi yang sama meskipun sebenarnya memiliki kekuatan legal standing yang berbeda.
Daripada Pemohon Bambang Kristiono yang belum pernah diperiksa dan diadili dalam Pengadilan HAM ad hoc, Pemohon Eurico Guteres justru, sebagaimana dijelaskan dalam permohonannya, pernah diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc dalam perkara pelanggaran HAM Timor Timur dan Pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh adanya Pengadilan HAM ad hoc tersebut yang dibentuk berdasarkan usulan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM. Artinya, Eurico Guteres memiliki alasan kerugian konstitusional yang lebih kuat daripada Bambang Kristiono yang hanya melandaskan alasannya pada rasa kekhawatiran belaka.
Terhadap nasehat Panel Hakim, Kuasa Hukum Pemohon meminta waktu untuk berkonsultasi dengan Pemohon Prinsipal perkara No. 13/PUU-V/2007 apakah akan menarik permohonannya atau meneruskannya. (Wiwik Budi Wasito)