Kepala Biro Umum Mahkamah Konstitusi (MK), Mulyono menyambut langsung kunjungan 40 orang peserta Diklat Lembaga Administrasi Negara (LAN), Kamis (21/4) di Ruang Aula Lantai Dasar Gedung MK. Mulyono berharap para peserta diklat dapat menambah pemahaman tentang wawasan kebangsan dan nilai-nilai Konstitusi usai mengunjungi MK.
Dalam sambutannya, Mulyono mengapresiasi sekaligus berterima kasih karena MK telah dipilih sebagai salah satu lembaga yang dikunjungi dalam rangka peningkatan kompetensi para peserta diklat. Lebih lanjut, Mulyono menjelaskan tujuan didirikannya Pusat Sejarah Konstitusi (Puskon) MK. Penjelasan tersebut dirasa perlu disampaikan oleh Mulyono sebab Puskon merupakan salah satu destinasi para peserta diklat kali ini.
Puskon MK merupakan wahana dokumentasi sekaligus edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan terkait Konstitusi, MK, dan perkembangannya. Setelah melalui masa pembangunan selama dua tahun, Puskon diresmikan pembukaannya oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 19 Desember 2014 silam.
Di dalam Puskon, lanjut Mulyono, pengunjung dapat memasuki delapan zona yang terdapat dalam ruang dua lantai di dalam Puskon MK. “Jadi Puskon ini dibangun dengan pembagian delapan Zona, yaitu Zona Prakemerdekaan, Zona Kemerdekaan, Zona UUD 45, Zona Konstitusi RIS, UUD 1950, Zona kembalinya ke UUD 1945, dan Zona Mahkamah Konstitusi. Di lantai 5 ada tujuh zona, sedangkan di lantai 6 hanya ada 1 zona yaitu Zona MK,” ungkap Mulyono.
Di berbagai zona dimaksud terdapat berbagai dokumen negara, mulai zaman kerajaan sampai dengan terbentuknya MK. Dokumen-dokumen yang terdapat di Puskon MK disajikan dengan berbagai media seperti diorama, relief tulisan, foto, layar sentuh, Sinema Konstitusi, hingga hologram dua Bapak Bangsa, yakni Bung Karno dan Bung Hatta, saat membacakan teks proklamasi.
Mulyono kemudian melanjutkan bahwa di dalam Zona MK terdapat beberapa putusan MK yang penting dan fenomenal. Meski hanya sebagian yang disimpan di Puskon MK, namun Putusan MK seluruhnya secara berkala selama setahun dua kali diserahkan ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk disimpan sebagai dokumen negara.
Di akhir sambutannya, Mulyono berharap kunjungan para peserta Diklat kali ini dapat menambah pemahaman tentang wawasan kebangsan dan nilai-nilai Konstitusi. “Pada akhirnya saya harapkan Bapa dan Ibu menjadi paham betul dan dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tukas Mulyono berharap.
Kewenangan MK
Pada kesempatan kali ini, hadir pula Wiryanto selaku Kepala Bidang Penelitian, Pengkajian Perkara, dan Perpustakaan MK. Di hadapan 40 orang peserta diklat, Wiryanto menyampaikan materi seputar kewenangan MK. Wiryanto menyampaikan bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Meski MK dan MA merupakan sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman namun memiliki kewenangan yang berbeda. Salah satu kewenangan yang dimiliki MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang putusannya bersifat final dan mengikat. Artinya, setelah proses persidangan di MK selesai dan diputus oleh Mahkamah maka tidak dapat dilakukan upaya banding.
Selain itu, Wiryanto menjelaskan bahwa MK lahir usai amandemen UUD 1945 yang ketiga. MK lahir sebagai salah satu kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA). Kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut memiliki kedudukan yang sejajar. “MK Indonesia lahir di abad 21 dan MK Indonesia itulah yang pertama lahir di abad 21. MK Indonesia merupakan MK yang ke-78 dalam urutan kelahiran MK di seluruh dunia,” ujar Wiryanto.
Wiryanto pun menjelaskan mengenai alasan perlunya dilakukan perubahan dalam UUD 1945 yang pada muaranya melahirkan MK. Saat itu, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal hierarki lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Dengan sistem ketatanegaraan yang demikian, proses check and balances antar lembaga negara tidak tercapai. Selain itu, UUD 1945 juga memiliki pasal-pasal yang multitafsir.
“Pada saat pembahasan amandemen saat itu, muncul juga ide mengenai perlunya MK dengan kewenangan judicial review. Sebelum amandemen, pemerintah dan DPR saat menerbitkan undang-undang sudah tidak bisa dilakukan upaya pengujian. Itulah yang menjadi isu utama terkait lahirnya MK dari hasil amandemen UUD 1945. Saat itu Pemerintah diberi waktu oleh undang-undang untuk membentuk MK paling lambat 17 Agustus 2003. Sebelum tanggal itu, yaitu tanggl 3 Agustus 2003, Presiden mengesahkan UU MK. Setelah itu pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengangkat sembilan Hakim Konstitusi yang dilanjutkan pengucapan sumpah Hakim Konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003,” jelas Wiryanto lagi.
Wiryanto juga menyebutkan kewenangan yang dimiliki MK berdasar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan yang dimiliki MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU). Selain itu, MK juga memiliki satu kewajiban seperti yang diamanatkan Pasal 7 dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Kewenangan MK tersebut dijelaskan oleh Wiryanto harus dijalankan oleh Hakim Konstitusi yang jumlahnya sembilan orang. Wiryanto pun menyampaikan komposisi Hakim Konstitusi yang berasal dari unsur DPR, MA, dan Presiden. (Yusti Nurul Agustin)