Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Kamis (20/4) di Ruang Sidang MK. Sidang ketiga perkara teregistrasi dengan nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya.
Dalam sidang tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Yunan Hilmy Direktur Litigasi Perundang-undangan Kemenkumham menerangkan permasalahan yang didalilkan pemohon bukan terkait masalah konstitusionalitas norma. Apalagi permohonan tersebut timbul akibat rasa takut dan khawatir pemohon.
“Timbulnya rasa takut dan khawatir para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas, melainkan lebih kepada permasalahan implementasi, penegakan hukum, terutama penegakan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi,” terang Yunan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Keberadaan pasal tersebut, lanjut Yunan merupakan aturan penting dalam rangka pemberantasan korupsi. Justru adalah hal yang salah jika pasal tersebut dihilangkan. “Sehingga sangat salah jika suatu ketentuan bertujuan untuk menciptakan keadaan negara yang bersih dan bebas dari tindakan korupsi dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” paparnya.
Dalam keterangannya, Pemerintah juga memastikan kepada pegawai ASN untuk tidak khawatir dan tidak perlu merasa tidak aman dikenakan tindak pidana korupsi atas semua kebijakan yang diambil atau diputus sepanjang para ASN bekerja sesuai peraturan perundang-undangan. Dalil kerugian Pemohon, sambung Yunan, muncul sebagai akibat kurang memahami pasal-pasal yang diuji karena yang dilarang dalam pasal-pasal yang diuji adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang melawan hukum. “Sedangkan yang memperkaya orang lain atau korporasi dengan tidak melawan hukum bukanlah tindak pidana korupsi,” tandasnya.
Dalam permohonannya, pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Menurut Pemohon, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, Pemohon menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)