Pemerintah membantah aturan mengenai kewenangan deponeering atau pengesampingan perkara yang dimiliki Kejaksaan multitafsir. Aturan tersebut justru memberikan jaminan hukum kepada masyarakat. Demikian disampaikan oleh Koordinator Jamdatun Kejaksaan yang Rorogo Zega dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Sidang ketiga perkara dengan Nomor 29/PUU-XIV/2016 ini digelar pada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Zega pun menjelaskan tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan, dan kesempatan yang baik guna melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar. Mengingat pentingnya penggunaan kewenangan deponering tersebut, maka kewenangan tersebut harus tetap diberlakukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan.
“Dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 28A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah dalil yang tidak berdasar hukum. Karena salah satu tujuan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 justru memberikan jaminan, perlindungan terhadap kepentingan umum setiap warga negara secara pribadi, keluarga, kehormatan martabat, dan harta benda di bawah kekuasaan, serta rasa aman untuk menyelenggarakan kehidupannya,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Tidak Punya Kedudukan Hukum
Selain itu, lanjut Zega, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal tersebut. Pemerintah menilai permohonan Pemohon lebih cenderung constitutional complaint, bukan constitutional review. Tak hanya itu, Pemerintah tidak menemukan adanya sebab-akibat atau causal verband antara kerugian yang dialami oleh Para Pemohon, baik yang bersifat spesifik atau khusus, khususnya mengenai penembakkan terhadap kaki kiri Pemohon I sehingga menyebabkan cacat seumur hidup dengan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan, atau SKP2 Nomor B-03/NTT7.10/E.P1/02/2016, tanggal 22 Februari 2016 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji.
“Kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam proses penerapan norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan mencabut norma itu, sebab kalau hal tersebut dilakukan maka apabila terjadi kekurangan dalam suatu penerapan suatu norma undang-undang tidak harus dengan cara mencabut norma tersebut. Dalam hal ini sebagaimana dimaksud norma dalam undang-undang a quo karena hal tersebut tidak akan menjamin adanya kepastian hukum,” tandasnya.
Dalam permohonannya, pemohon menilai aturan yang menyebut kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang termaktub dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan Agung inkonstitusional. Dalam kasus yang dialami pemohon, pada 18 Februari 2004, para Pemohon dalam Perkara 29/PUU-XIV/2016 itu mendapatkan penyiksaan ketika ditangkap oleh aparat kepolisian, yang dipimpin Novel Baswedan selaku Kepala Satuan Reserse Polres Bengkulu dalam kasus pencurian sarang burung walet. Dengan adanya kewenangan Jaksa Agung yang dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, sebagai mana disebutkan dalam pasal tersebut, menyebabkan para pemohon tidak mendapat keadilan.
Sebelumnya, para Pemohon beserta 3 rekan yang tertangkap bersama, minus Mulyan Johani alias Aan yang telah meninggal dunia karena tertembak, dijatuhi hukuman penjara 8 bulan sampai dengan 12 bulan penjara. Menurut Pemohon, hukuman tersebut telah selesai dijalani oleh Para Pemohon. Lebih lanjut Pemohon menjelaskan tanggal 29 Januari 2016, surat dakwaan atau berkas perkara penembakan terhadap 6 orang dengan tersangka Novel telah dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum ke Pengadilan Negeri Kota Bengkulu. Namun, berkas tersebut ditarik kembali dengan alasan untuk diperbaiki atau disempurnakan.
Akan tetapi, ternyata surat dakwaan terhadap anggota kepolisian Bengkulu yang dilaporkan melakukan penganiayaan terhadap para Pemohon tersebut tidak pernah diajukan kembali ke Pengadilan Negeri Bengkulu, dan jaksa penuntut umum justru mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor B-03/N.7.10/E.P.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 untuk menghentikan penuntutan dalam kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti dan telah kedaluwarsa. Hingga akhirnya dakwaan terhadap para anggota kepolisian tersebut, yang saat ini sebagian telah bertugas di tempat lain, yakni sebagai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, justru dilakukan pengesampingan perkara. Hal ini dianggap para Pemohon sebagai perlakuan berbeda di hadapan hukum, yakni dengan tidak diadili di depan pengadilan yang sah dengan berlakunya ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.(Lulu Anjarsari)