Frasa ‘permufakatan jahat’ dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) multitafsir yang berakibat tidak adanya jaminan hukum. Demikian disampaikan oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Khairul Huda dalam sidang keempat uji materiil UU KUHP dan UU Tipikor yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (20/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya selaku Ahli yang dihadirkan Setya Novanto sebagai pemohon perkara nomor 20/PUU-XIV/2016 dan nomor 21/PUU-XIV/2016 tersebut, ia menerangkan Pasal 88 KUHP tidak bisa memberikan makna dari frasa ‘permufakatan jahat’ dalam Pasal 15 UU Tipikor seperti dilakukan penegak hukum dalam kasus yang dialami pemohon. Hal ini menunjukkan jika Pasal 88 KUHP dijadikan rujukan menafsirkan Pasal 15 UU Tipikor, justru membuat aturan tersebut tidak memberi kepastian hukum karena tidak ada penguraian makna.
Untuk itulah, Huda menyampaikan agar sebaiknya aturan tersebut dibatalkan, bukan hanya diminta penafsirannya seperti yang dimohonkan Pemohon. Hal ini karena aturan tersebut tidak memberi kepastian hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
“Boleh jadi, dia jelas secara keilmuan, tetapi tidak jelas secara undang-undang. Jadi, by science dia jelas, tapi by law dia tidak jelas. Terus, oleh karenanya ini norma yang sama, norma yang tidak menjamin kepastian hukum. Jadi, saya sedikit berbeda dengan Pemohon. Menurut saya, frasa permufakatan jahat harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena bertentangan dengan konstitusi. Karena tidak menjamin kepastian hukum dalam hal ini karena tidak ada pengertiannya,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Hal serupa diungkapkan oleh Ahli Pemohon lainnya, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah menjelaskan frasa ‘permufakatan jahat’ dalam Pasal 88 KUHP hanya untuk delik yang membahayakan keamanan negara. Delik keamanan negara yang dimaksud, yaitu delik terhadap presiden, wakil presiden, pemberontakan, atau penggulingan pemerintah. Ia menilai tidak tepat jika penafsiran tersebut dikaitkan dengan Pasal 15 UU Tipikor. “Untuk hal tersebutlah, berlaku ketentuan permufakatan jahat. Hal ini logis karena kejahatan yang ditunjuk tidak terjadi, jika dalil-dalil percobaan sudah ada niat ada pemufakatan pelaksanaan tidak sesuai umpamanya maka dalam pemufakatan jahat hanya ada niat dengan mengadakan pemufakatan jahat sama sekali tidak ada permulaan pelaksanaan,” terangnya.
Ilegal
Dalam sidang tersebut, Pemohon juga menghadirkan Ahli terkait permohonan Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menguji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Muhammad Said Karim selaku Ahli Pemohon menegaskan bahwa tindakan perekaman diam-diam melanggar hak asasi manusia. Ia melanjutkan bahwa perekaman itu ilegal, karena itu hasilnya tentu saja tidaklah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam proses penyidikan maupun persidangan pemeriksaan perkara.
“Oleh karena segala bentuk tindakan yang termasuk, namun tidak terbatas tindakan perekaman harusnya disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa jika kalau hal ini dapat dilakukan oleh setiap orang, maka perekaman tanpa seizin Pihak Terkait dan hasilnya dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana, maka akan menimbulkan kegaduhan hukum, menimbulkan ketidaktertiban dalam pelaksanaan hukum acara pidana dan lebih jauh akan merusak sistem peradilan pidana di Indonesia,” jelasnya.
Hal ini dikuatkan dengan keterangan Edward Omar Sharif Hiariej yang dihadirkan Pemohon. Ia menjelaskan jika rekaman yang direkam sembarangan oleh siapapun dijadikan alat bukti, maka hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hiariej menerangkan jika ketentuan yang ada dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44 UU ITE dan Pasal 26 UU Tipikor dapat dikatakan tidak menjamin kepastian hukum apabila diterjemahkan bahwa hasil perekaman atau penyadapan elektronik yang dilakukan oleh siapapun atau apapun hasil perekaman atau penyadapan elektronik dapat digunakan sebagai suatu alat bukti elektronik yang sah secara hukum. Apalagi, lanjut Hiariej, alat bukti elektronik tersebut hanya berlaku sebagai suatu alat bukti petunjuk yang menjadi otoritatif hakim. Maka alat bukti yang sah harus dilakukan perkeaman oleh lembaga yang berwenang.
“Alat bukti yang demikian merupakan otoritatif hakim, dengan demikian pada tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan alat bukti elektronik dapat menjadi salah satu alat bukti dan hanya jika perolehan alat bukti elektronik tersebut dilakukan secara sah menurut hukum dan tidak termasuk dalam unlawful legal evidence, yaitu perekaman atau penyadapan oleh instansi yang berwenang yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, yaitu kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi,” terangnya.
Keterangan DPR
Dalam sidang tersebut, DPR hadir memberikan keterangan untuk perkara nomor 21/PUU-XIV/2016 bahwa dalam Pasal 15 UU Tipikor memang tidak terdapat pengertian tentang frasa ‘permufakatan jahat’, karena merupakan aturan khusus. Sufmi Dasco Ahmad yang mewakili DPR menjelaskan ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan perbantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 dari ancaman pidananya. Ia pun melanjutkan pengertian rumusan permufakatan jahat merujuk dalam Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
”Bahwa permufakatan jahat dalam pengertian Pasal 15 Undang-Undang Tipikor baru berada pada taraf niat, atau dalam taraf persiapan belum terwujud dalam pelaksanaan (suara tidak terdengar jelas) tersebut, atau dengan kata lain permufakatan jahat merupakan tindak pidana yang tidak sempurna,” terangnya.
Sementara terkait permohonan Nomor 20/PUU-XIV/2016, DPR berpendapat bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia yaitu dalam peradilan perdata, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan Mahkamah Konstitusi. Meski UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan perluasan alat bukti yang sah, tetapi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE memberikan petunjuk penting mengenai perluasan ini, yaitu perluasan tersebut harus sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Dalam permohonan Nomor 20/PUU-XIV/2016, Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penyelidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Pemohon menilai keberadaan norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman. Tidak adanya pengaturan tersebut, dapat menciptakan situasi seperti yang dialami Pemohon, yaitu dianggap dan dikatakan telah melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, menerima pemberian atau janji. Tudingan tersebut, menurut Pemohon, hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu, dalam hal ini hasil rekaman yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin. Pemohon menilai tindakan perekaman tanpa kepentingan penegakan hukum oleh bukan aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk itu serta penggunaanya sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Sedangkan dalam permohonan Nomor 21/PUU-XIV/2016, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dijerat dengan kedua pasal tersebut. Pemohon menilai bahwa pengertian tentang “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa undang-undang, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru. Pengertian pemufakatan jahat dalam pasal 88 KUHP, menurut Pemohon, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang saat ini secara nyata dialami Pemohon. (Lulu Anjarsari)