Persyaratan yang sangat ketat bagi setiap orang yang hendak beristri lebih dari satu atau poligami seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dimaksudkan untuk menjamin agar ada pengakuan terhadap kehormatan dan hak orang lain, khususnya perempuan. Ketentuan-ketentuan tersebut juga diperlukan agar pelaksanaan poligami yang dalam ajaran Islam mensyaratkan azas keadilan dapat benar-benar terwujud.
Demikian antara lain keterangan yang diberikan oleh, Menteri Agama RI H.M. Maftuh Basyumi saat berbicara mewakili pemerintah dalam persidangan uji materiil UU Perkawinan terhadap UUD 1945 hari Rabu (27/6) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Selain mendengarkan keterangan dari pemerintah, pada persidangan perkara yang dimohonkan oleh M. Insa, SH. tersebut juga didengarkan keterangan dari DPR RI yang kali ini diwakili oleh Nursyahbani Katjasungkana, anggota Komisi III DPR RI.
Lebih lanjut menurut Maftuh Basyuni, ketentuan pembatasan praktik poligami tersebut juga tidak terkait dan tidak mengurangi hak kebebasan warga negara dalam menjalankan agama. Maftuh juga berpendapat poligami bukan merupakan hak asasi manusia (HAM) dan tidak ada pengaturannya di dalam UUD 1945. Jikapun ia merupakan HAM, tidak berarti dapat dilaksanakan tanpa batasan dengan melanggar hak asasi orang lain. UUD 1945 mensyaratkan pembatasan pelaksanaan HAM demi melindungi kehormatan dan hak orang lain, ujarnya.
Agama Islam pada dasarnya juga menganut asas pernikahan monogami, bukan poligami. Surat Annisa ayat 3 yang dijadikan dalil oleh Pemohon seharusnya ditafsirkan sebagai pembolehan poligami, bukan anjuran, imbuh Maftuh.
Sependapat dengan Maftuh, Nursyahbani mengatakan bahwa pelaksanaan HAM dibatasi oleh UUD 1945. Menurut politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa ini, UU Perkawinan juga telah mempertimbangkan rasa keadilan dan rasa diskriminatif yang mungkin timbul sehingga dapat melindungi orang-orang yang merasa dirugikan bila terjadi perkawinan yang melanggar syarat-syarat dalam undang-undang tersebut, khususnya perempuan. Namun, tambahnya, UU Perkawinan juga tidak menutup peluang bagi seseorang untuk melakukan plogami. Asal sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, katanya.
Sementara itu, menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Dr. Harjono, SH. tentang nilai ibadah dalam poligami, Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama Nasyaruddin Umar menjelaskan justru perkawinan itu sendiri yang mempunyai nilai ibadah. Poligami ibadah atau tidak hanya Tuhan yang berhak menilai, katanya. Ia juga menilai syarat adil yang dimaksudkan Al-Quran tidak semata adil secara kuantitatif berupa kesanggupan secara finansial melainkan juga adil secara kualitatif, yakni dalam membagi perhatian, kasih sayang, dan lain-lain. Dan hampir tidak ada orang yang mampu berlaku adil seperti itu, jelasnya menambahkan.
Sebelum menutup sidang, Ketua Majelis Hakim MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., mengingatkan kepada Pemohon dan Pemerintah bahwa meskipun menimbulkan pro dan kontra, poligami telah dipraktikkan secara luas di masyarakat. Oleh karenanya Jimly meminta Pemohon untuk mengajukan ahli yang benar-benar mendukung poligami, dan sebaliknya juga Pemerintah mengajukan ahli yang dapat mendukung pendapatnya. Biar masyarakat melihat pro-kontra tersebut di dalam sidang, tandasnya. (Ardli)