Pemerintah membantah aturan mengenai Hak Tagih dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam aturan tersebut, hak tagih merupakan pengalihan hak atas hutang negara/daerah. Sementara terkait kasus yang dialami oleh seorang pensiunan Aparatur Sipil Negara Kementerian Perdagangan yang menagih hak pensiunannya tidak termasuk ke dalam hak tagih dalam aturan tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Tio Serepina Siahaan yang mewakili Pemerintah dalam sidang uji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang digelar pada Selasa (19/4) di Ruang Sidang MK.
Lebih lanjut Tio menjelaskan, menurut Pemerintah, dalil Pemohon tersebut tidak berdasar sama sekali karena kerugian yang dianggap oleh Pemohon bukan merupakan akibat dari pemberlakuan ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, melainkan karena permasalahan teknis administrasi. Oleh karenanya antara kerugian Pemohon dengan keberlakuan ketentuan a quo sama sekali tidak terdapat hubungan sebab-akibat atau causal verband.
“Apabila benar adanya quod non terhadap kerugian yang dialami Pemohon. Seharusnya Pemohon dapat mengajukan permasalahannya kepada lembaga peradilan yang berwenang mengadili masalah teknis administrasi. Bukan mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi yang kewenangannya menguji norma dalam Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Sudah Dibayarkan
Sementara, PT Taspen Persero yang hadir sebagai Pihak Terkait, melalui Direktur Operasi Ermanzah menegaskan telah melakukan realisasi pembayaran pensiun pertama, pensiun 13, dan THT kepada Pemohon sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku serta mendasarkan kepada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut Ermanzah, PT Taspen Persero yang bertanggung jawab terhadap jaminan pensiun ASN juga telah memperhitungan masa iuran Pemohon, yaitu mulai sejak diangkat sebagai calon PNS tanggal 01 Maret 1976 sampai dengan 29 Februari 2008 diberhentikan sebagai PNS.
“Serta penghasilan terakhir yaitu gaji pokok ditambah dengan tunjangan istri dan suami dan tunjangan anak yang pembayarannya melalui transfer bank telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan yang ditetapkan pemerintah,” tandas Ermanzah.
Dalam permohonan Nomor 15/PUU-XIV/2016, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Pasal tersebut berbunyi “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.”
Pemohon menganggap adanya pasal a quo mengakibatkan Pemohon dan keluarganya tidak dapat menerima uang pensiun sepenuhnya dari PT. Taspen. Pemohon merupakan PNS Kementerian Perdagangan yang seharusnya sudah diusulkan pensiun sesuai usia mulai tanggal 1 Maret 2008, namun hanya menerima Surat Bebas Tugas PNS Menjelang Pensiun pada 25 Januari 2008.
Pada 23 Juni 2015, Pemohon baru menerima Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP) dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Padahal, jaminan pensiun baru dapat dibayarkan setelah diterbitkannya SKPP oleh Kementerian Keuangan melalui KPPN.
Dengan demikian, PT. Taspen menetapkan pembayaran pensiun Pemohon sesuai dengan diterbitkannya SKPP dan bukanlah menurut tanggal usia pensiun Pemohon, sehingga Pemohon tidak menerima uang pensiun secara penuh.
Pemohon juga menjelaskan telah mengajukan keberatan secara tertulis kepada PT Taspen, namun Pemohon tidak mendapatkan jawaban tertulis, dan hanya mendapatkan penjelasan lisan, yaitu keberatannya telah kedaluwarsa melewati 5 (lima) tahun setelah jatuh tempo sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Sehingga PNS yang belum menerima jaminan pensiun lebih dari 5 (lima) tahun sejak usia pensiun, hanya berhak menerima 5 (lima) tahun rapel dan pembayaran selanjutnya. Padahal menurut Pemohon, ketentuan a quo tidak dapat diterapkan pada ASN/PNS. (Lulu Anjarsari)