Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) - Perkara No.138/PUU-XIII/2015 (UU Perkebunan) pada Senin (18/4) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan pihak Terkait.
I Nyoman Nurjaya selaku Ahli Pemohon menyoroti Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan yang menyebutkan, “Dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, pelaku usaha harus melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”.
Nyoman Nurjaya menegaskan bahwa musyawarah pelaku usaha dengan masyarakat adat tidak seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Nyoman, musyawarah dengan masyarakat hukum adat mengenai persetujuan penyerahan tanah dan imbalannya justru merupakan kewajiban hukum dari pelaku usaha perkebunan.
“Musyawarah yang dimaksudkan ini sebenarnya ada dalam ranah hukum perdata antara pelaku usaha perkebunan dengan masyarakat hukum adat. Subjek hukumnya adalah pelaku usaha perkebunan dan masyarakat hukum adat. Jadi, subjek hukumnya itu adalah subjek hukum perdata,” urai Nyoman Nurjaya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
“Tetapi kemudian di undang-undang disebutkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apa artinya? Bahasanya adalah untuk mendapatkan persetujuan penyerahan tanah dan imbalannya. Bahasa yang tercermin ada kekuasaan, ada kewenangan- tertentu di dalamnya untuk menyelenggarakan musyawarah itu. Kalau ini ada di ranah hukum perdata, maka ini menjadi hak dari masing-masing pihak untuk mengatakan apakah kesepakatan bisa dibuat atau tidak,” ungkap Nyoman Nurjaya.
Dengan demikian, Nyoman Nurjaya berpendapat bahwa musyawarah antara pelaku usaha dengan masyarakat hukum adatuntuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya adalah ranah hukum perdata. Tapi dalam Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan disebutkan bahwa hal tersebut sesuai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Nah, itu yang menjadi masalah,” kata Nyoman Nurjaya.
Sementara itu Pihak Terkait yakni Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai Pemohon telah mendiskreditkan usaha perkebunan, khususnya terkait perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Pemohon cenderung tidak mengemukakan hal-hal yang telah dikontribusi oleh usaha perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya,” kata Sadino dari Gapki.
Sadino menjelaskan, dalam kenyataannya perkebunan kelapa sawit telah mengalami perkembangan di 22 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia, meskipun masih didominasi 5 provinsi terbesar, yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Perkembangan perkebunan kelapa sawit memunculkan pandangan yang negatif, meskipun kadang tidak logis.
“Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mendapat tuduhan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah konversi hutan primer, padahal tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan,” imbuh Sadino.
Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan oleh penutupan lahan atau land cover, ungkap Sadino, citra satelit menunjukkan bahwa tidak benar bahwa lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagian besar berasal dari hutan primer.
“Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar bersumber dari lahan degradasi dan low carbon seperti lahan terlantar, lahan pertanian, hutan rusak dan hutan tanaman,” tambah Sadino.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli nasib petani kecil, di antaranya Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch (PSW), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Pemohon menguji Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 107, dan Pasal 114 ayat (3) Undang-Undang Perkebunan.
Menurut Pemohon, pelaksanaan musyawarah pelaku usaha dengan masyarakat adat tidak seharusnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang No. 39 Tahun 2014. Karena hukum masyarakat adat telah mengatur dalam hukum mereka sendiri.
Pengujian Undang-Undang Perkebunan sebelumnya sudah diajukan ke MK terkait pasal mengenai kriminalisasi. Waktu itu MK memutuskan permohonan inkonstitusional. Namun menurut Ridwan kuasa hukum Pemohon, sebelum pemberlakuan pasal tersebut harus ada pemetaan dan penjelasan konflik yang menyeluruh di lahan-lahan perkebunan dan juga mengenai masalah hukum adat. (Nano Tresna Arfana)