Pada proses pengadilan pajak, tidak dikenal asas praduga tidak bersalah seperti dalam pengadilan umum. Oleh karena itu, proses penagihan atas putusan pengadilan pajak sebelumnya akan tetap dilakukan oleh jaksa sampai ada putusan banding. Hal ini disampaikan oleh Anshari Ritonga selaku Ahli Pemerintah dalam sidang Pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang UU Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan UU Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang UU Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang UU Kekuasaan Kehakiman. Sidang ketiga perkara dengan Nomor 133/PUU-XIII/2015 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) Pada Senin (18/4) di Ruang Sidang MK.
Dalam keterangannya, Anshari yang merupakan mantan Dirjen Pajak tersebut, menjelaskan dalam pengadilan pajak tidak berlaku asas praduga tak bersalah seperti pengadilan pada umumnya. Maka, lanjut Anshari, selama belum ada putusan banding, akan tetap ada penagihan dari jaksa dan pemohon harus tetap membayar pajak terutang.
“Oleh karena itu, yang berlaku bukan presumption of innocence tapi adalah presumption justae causa yaitu apa yang sudah diputuskan pemerintah itu mempunyai kekuatan hukum sepanjang belum ada yang membatalkan atau yang menggantinya. Ini yang berlaku,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Sementara itu, Ketua Pengadilan Pajak Tri Wahyudi Hidayat yang menjadi Pihak Terkait, menerangkan sebagai pelaksana Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali karena sengketa pajak merupakan sengketa khusus dalam peradilan tata usaha negara di mana negara membutuhkan uang pajak. “Para pihak baik itu negara maupun para wajib pajak memerlukan suatu kepastian hukum yang cepat yang dalam hal ini ada peninjauan kembali yang berulang-ulang akan mengurangi pencapaian inkrahct-nya suatu putusan yang diterbitkan oleh pengadilan pajak,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Nizarman Aminuddin, sebagai likuidator PT. Textra Amspin merasa dirugikan oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Pengajuan Banding sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak; ketentuan mengenai Penangguhan Pembayaran Pajak sebagaimana diatur dalam pasal II angka 1 UU Tata Cara Perpajakan. Selain kedua hal tersebut Pemohon juga menggugat ketentuan mengenai Pengajuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1) UU MA serta Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. Pemohon keberatan atas pengenaan pajak terhadap PT. Textra Amspin yang turut memperhitungkan aset pribadi Pemohon ke dalam aset perusahaan.
Pemohon telah mengajukan keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak namun pengajuan tersebut ditolak. Atas penolakan tersebut, Pemohon melanjutkan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan pajak hingga banding. Di tingkat banding Pemohon dijatuhi putusan tidak dapat diterima dengan pertimbangan hukum bahwa pada saat mengajukan banding Pemohon tidak menyampaikan bukti pembayaran 50% pajak terutang yang merupakan persyaratan banding ke Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud oleh Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak.Terhadap putusan tersebut, Pemohon merasa dirugikan, karena ternyata proses hukum yang ditempuh tidak menunda kewajiban pembayaran pajak dan pelaksanaan penagihan.(Lulu Anjarsari)