Pemerintah pusat tidak dapat memonopoli pengaturan distribusi kekuasaan meski terdapat ketentuan mengenai pembagian kekuasaan atau kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal itu disampaikan langsung oleh mantan Menteri Otonomi Daerah di Era Presiden Abdurahman Wahid, Ryaas Rasyid dalam sidang perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Kamis (14/4) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Hadir dalam sidang yang dimpin langsung oleh Arief Hidayat selaku Ketua MK, Ryaas menyampaikan paparan selaku ahli Pemohon perkara No. 136/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh Kasman Lassa, Bupati Kabupaten Donggala.
Sebelum menyampaikan keahliannya, Ryaas terlebih dulu menjelaskan kompetensinya terkait urusan otonomi daerah (otda) dan pemerintahan daerah. Selain pernah menjabat sebagai menteri, Ryaas menyampaikan bahwa ia terlibat dalam lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar dimulainya era otda.
Berdasarkan kompetensinya tersebut, Ryaas menyatakan ketentuan mengenai penarikan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam UU No Pemda telah dirumuskan secara keliru. Kekeliruan itu dimaksud terjadi karena pembentuk undang-undang a quo dinilai telah memiliki asumsi yang salah tentang kekuasaan pemerintah pusat.
Menjelaskan lebih lanjut, Ryaas mengatakan asumsi tersebut menciptakan suatu pandangan wajar mengenai delegasi kewenangan pemerintah pusat ke daerah atau menariknya kembali sesuai kepentingan negara. Padahal, lanjut Ryaas, pandangan tersebut keliru karena negara sesungguhnya mencakup seluruh komponen kekuasaan yang bekerja di pusat maupun di daerah sebagai satu sistem organisasi.
“Pemerintah daerah adalah bagian dari pemerintahan negara yang harus bekerja secara harmonis dengan pemerintah pusat untuk mencapai tujuan negara. Bahwa ada pembagian kekuasaan atau kewenangan antara pusat dan daerah itu tidak berarti bahwa pemerintah pusat bisa secara monopolistic mengatur distribusi kekuasaan. Sumber kekuasaan bukan semata-mata dari pemerintah pusat,” tegas Ryaas yang memberi argumen bahwa secara historis sebelum Republik Indonesia terbentuk sudah ada kekuasaan lokal yang eksis.
Pelanggaran Etika
Pada sidang panel yang diperluas ini, Ryaas juga dengan tegas menyatakan undang-undang a quo mengandung pelanggaran etika dalam penyusunannya. Sebagaimana seharusnya, penyusunan suatu RUU melalui proses kajian. Namun, proses tersebut menurut Ryaas tidak pernah dilaksanakan saat RUU Pemda Tahun 2014 disusun.
“RUU a quo tidak melalui proses kajian, tidak pernah dikonsultasikan dengan pemerintah kabupaten/kota yang justru akan terkena dampak atas pelaksanaannya dan tidak pernah disosialisasikan ke masyarakat sebelum dibahas di DPR. Maka tidak heran kalau setelah diterbitkan dan baru diketahui oleh pemerintah kabupaten/kota mereka terkaget-kaget, seolah-olah di suatu pagi mereka bangun dari tidur, tiba-tiba sebagian dari kewenangan yang selama ini mereka laksanakan sirna begitu saja tanpa alasan,” terang Ryaas.
Prinsip Otda
Saat era otda dimulai, urai Ryaas, para pembentuk UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan prinsip otda yaitu prinsip ekonomi seluas-luasnya diwujudkan melalui pemberian otonomi penuh kepada kabupaten/kota. Menurut pengamatan Ryaas, prinsip ini tidak lagi dipelihara oleh pembuat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Hal itu terlihat dari menyempitnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Makin susutnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota juga dinilai telah menciptakan ketidakpastian di beberapa bidang layanan publik. Misalnya saja pada proses perizinan pertambangan, kehutanan, dan kelautan. Sebelum adanya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang digugat Pemohon, pemerintah kabupaten/kota menangani perizinan di sektor-sektor tersebut.
Menanggapi uraian Ryaas, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyampaikan pernyataan bahwa secara teoristis maupun praktis, penyelenggaraan pemerintahan tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya secara sentralistik maupun sebaliknya.
Namun, UU tentang Pemda sering kali mengalami perubahan cara pandang terhadap pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Pada UU No. 5 Tahun 1974 misalnya kekuasaan cenderung diartikan secara sentralistik. Berbeda, UU No. 22 Tahun 1999 justru mengandung filosofi bahwa Otda dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan. Hal lain terkandung dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang seakan-akan memberikan otonomi namun menarik sebagian kewenangan daerah untuk dikembalikan kepada pemerintahan pusat.
“Kemudian ini berlangsung lagi, orang tidak puas dan kemudian kita menuju kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kalau kita melihat seperti ini, sebetulnya di mana kesalahan kita dalam melaksanakan atau dalam membuat suatu peraturan ini, suatu undang-undang? Di mana ada desentralisasi dan desentralisasi ini bisa berimbang sehingga baik pusat dan daerah ini menjadi semua dimakmurkan?” tutur Maria meminta penjelasan.
Menjawab pertanyaan Maria, Ryaas menyarankan agar pemerintah pusat berhenti mengurusi persoalan domestik. Seharusnya, terang Ryaas, pemerintah pusat hanya mengurusi persoalan strategis negara. Sementara itu daerah mengurusi persoalan domestik, sepanjang dapat diawasi atau disupervisi pemerintah pusat.
Pada sidang kali ini, Mahkamah juga mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon Perkara No. 137/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Selain itu, Mahkamah juga mendengarkan keterangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang disampaikan oleh Akhmad Muqowam selaku senator yang memimpin komite urusan Pemda dan Otda (Komite 1 DPD RI). Dalam keterangannya, pada intinya, Moqowam menyatakan pemerintah daerah harus menjalankan otonomi seluas-luasnya yang dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. (Yusti Nurul Agustin/lul)