Ibnu Utomo bersama dua rekannya yang merupakan kader dan anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggugat ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Sidang perdana perkara teregistrasi Nomor 35/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Kamis (14/4) di ruang sidang MK.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto, Pemohon mendalilkan Pasal 33 ayat (2) UU Partai Politik menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan yang dinyatakan sah oleh putusan kasasi. Oleh karena itu, Pemohon menilai pasal a quo menimbulkan multitafsir.
Multitafsirnya ketentuan tersebut, menurut Pemohon, lantaran Menteri Hukum dan HAM bisa mengabaikan putusan kasasi dan berhak untuk tidak menerbitkan keputusan pengesahan kepada susunan kepengurusan partai politik yang telah dibenarkan keabsahannya oleh putusan kasasi. “Bahkan Menteri Hukum dan HAM dapat saja menafsirkan ia menerbitkan keputusan pengesahan untuk susunan kepengurusan yang ditolak keabsahannya oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi,” tutur Kuasa Pemohon Humprey R. Jemat.
Akibatnya, Pemohon menilai partai politik tak lebih hanya akan menjadi alat yang dapat dikontrol oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan para kader partai politik yang ditempatkan di DPR dapat dikontrol, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Menurut Pemohon, penafsiran yang konstitusional atas ketentuan hukum Pasal 33 ayat (2) UU Parpol adalah Menteri Hukum dan HAM wajib menerbitkan surat keputusan tentang pengesahan susunan perusahaan partai politik hanya kepada kepengurusan partai politik yang telah dinyatakan sah dalam putusan kasasi.
“Kami berpandangan apabila Pasal 33 UU Parpol tersebut tidak ditafsirkan demikian, Menteri Hukum dan HAM dapat memberikan keputusan pengesahan kepengurusan partai politik terhadap kepengurusan manapun yang tidak jelas tolak ukurnya. Bahkan secara ekstrem memberikan pengesahan kepada kepengurusan yang oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia telah dinyatakan sebagai tidak sah atau ilegal, atau kepengurusan telah dinyatakan berakhir masa baktinya,” papar Humprey.
Penafsiran tersebut dinilai Pemohon berpotensi menghilangkan asas kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga beranggotakan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Manahan Sitompul tersebut menyarankan Pemohon untuk merekonstruksi lebih lanjut kerugian konstitusional yang dialami. “Kerugian ini perlu dipilah apakah kerugian itu disebabkan oleh berlakunya satu norma dalam pasal tertentu, dalam hal ini adalah Pasal 33 ayat (2) ataukah kerugian itu disebabkan adanya keputusan dari menteri hukum dan HAM, ini harus dipilah, ya,” ujar Patrialis.
Menurutnya, apabila kerugian yang dialami Pemohon disebabkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM, maka Pemohon tidak dapat mengajukan gugatan ke MK. ”Saya mencoba mengaitkan dengan petitum yagn Saudara buat di sini, ya. kelihatannya agak sulit Saudara memilah karena petitum itu nanti pada saatnya itulah yang menjadi norma undang-undang. Nah, ini saya melihat ini agak sedikit rancu persoalan keputusan menteri hukum dan HAM dengan pengujian norma. Jadi nanti tolong direkontruksi kembali,” tandasnya. (Nano Tresna Arfana/lul)