Mahkamah Konstitusi (MK) menerima audiensi rombongan Komisi II DPR RI, Kamis (14/4) di Ruang Konferensi Gedung MK. Dalam audiensi tersebut, para anggota DPR berkonsultasi dan bertukar pikiran terkait Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada yang baru.
Dalam audiensi yang juga dihadiri oleh para hakim konstitusi, Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarul Zaman menyatakan kedatangannya ke MK dalam rangka membicarakan beberapa pasal-pasal yang selama ini dianggap krusial dalam UU Pilkada terdahulu. “Dengan kata lain, yang ‘mantap’ jangan diubah, yang kurang mesti diperbaiki,” tuturnya.
Ia menekankan Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang juga tengah diuji di MK. Ketentuan tersebut mengatur batas selisih maksimal antara calon kepala daerah yang akan mengajukan gugatan perselisihan hasil pilkada dengan calon kepala daerah peraih suara terbanyak. Rambe berharap pasal serupa tak ada lagi di UU Pilkada yang baru.
“Ini membuat beberapa pihak untuk mencari keadilan menjadi tidak terpenuhi. Selisih suara melimitasi seseorang untuk mengajukan sengketa terkait pilkada,” jelasnya.
Selain itu, hal krusial lainnya terkait dengan batas dukungan calon perseorangan agar dapat maju dalam pilkada. Baginya harus dicari formulasi batasan suara yang ideal, misal dalam kisaran 10 hingga 15 persen.
Menyikapii hal tersebut, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan aturan mengenai undang-undang merupakan open legal policy pembentuk undang-undang. Hakikatnya, undang-undang dibentuk DPR, sehingga bagaimana dan seperti apa pasal itu merupakan hak DPR. “Silahkan yang menyangkut Pasal 158 DPR bisa saja ditiadakan. Itu merupakan wewenang DPR,” jelasnya.
Namun dalam pandangannya, Pasal 158 memiliki nilai filosofis yang mendalam, agar MK tak semata menjadi keranjang sampah. “Makanya penyelesaian sengketa pilkada dibuat berjenjang. Ada yang penyelesaiannya di Gakkumdu maupun PTUN,” kata dia.
Selain itu, Arief juga menyinggung terkait penanganan sengketa pilkada yang bersifat transisi oleh MK. Arief mengingatkan agar kewenangan MK untuk mengadili sengketa pilkada diperjelas waktunya. “Kalau bisa jangan sampai menunggu hingga 2027, badan sengketa khusus pemilu sudah bisa dibentuk,” tegasnya.
Hadir dalam Sidang
Selain berdiskusi tentang RUU Pilkada, ada hal menarik dalam kunjungan tersebut. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, misalnya, memberikan kritik kepada DPR yang jarang hadir saat sidang mendengarkan keterangan DPR.
“Ini penting. Jangan sampai DPR hanya menuntut undang-undangnya tak dibatalkan. Tapi ketika disuruh ikut sidang justru tidak pernah hadir,” kata dia.
Menanggapinya, Rambe menyatakan kritikan tersebut akan dijadikan masukan. Dia menjelaskan ketidakhadiran DPR ke MK bukan karena sifat yang disengaja. Namun terkadang surat yang masuk ke lembaganya menumpuk dan tidak tersalurkan ke individu anggota DPR. (Arif s/lul)