Pertanyaan-pertanyaan terlontar dari beberapa siswa SMAN 26 Jakarta yang begitu antusias ketika berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (14/4). Salah seorang pelajar misalnya ada yang menanyakan kewajiban MK terkait pemakzulan presiden. “Bagaimana kalau MPR tidak setuju dengan putusan MK terkait pemakzulan Presiden?” tanya Nabila pelajar kelas 11 SMAN 26 Jakarta.
Menjawab pertanyaan tersebut, Peneliti MK Anna Triningsih yang menyambut kehadiran siswa-siswi SMA 26 Jakarta menyatakan hal itu tidak bisa diandai-andai. “Kita tidak bisa berandai-andai, bagaimana kalau MPR tidak setuju dengan putusan MK terkait pemakzulan Presiden karena memang MK belum pernah melaksanakan kewajiban terkait pemakzulan Presiden,” jelasnya.
Selain itu ada siswa yang ingin diberikan penjelasan lebih jauh mengenai kekuasaan kehakiman di Indonesia. “Bagaimana pendapat Ibu mengenai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia saat ini?” tanya Raihan pelajar kelas 11 SMAN 26 Jakarta.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, menurut Anna, sudah sangat baik. Undang-undang tersebut mengatur Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan norma, yang diuji adalah pasal, ayat, atau frasa dari undang-undang. “Sedangkan Mahkamah Agung mengadili subjeknya, menjatuhkan hukuman pada seseorang dan sebagainya,” jawab Anna yang didampingi moderator Herawati Sihombing, Wakil Kepala SMAN 26 Jakarta.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 282 pelajar dan 10 guru SMAN 26 Jakarta itu, Anna menyampaikan materi sejarah pembentukan dan kewenangan MK. Anna menjelaskan, MK di Indonesia terbentuk setelah bergulirnya reformasi yang kemudian dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. MK akhirnya terbentuk pada 13 Agustus 2003.
Lebih lanjut Anna menerangkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Kewenangan pertama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan kedua MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
“Lembaga negara yang bisa bersengketa di MK adalah lembaga negara yang kewenangannya tertuang di dalam Konstitusi. Kenapa demikian? Karena MK berpegang pada Konstitusi. Oleh karena itu lembaga negara yang kewenangannya belum tertuang dalam Konstitusi, maka tidak bisa berperkara di MK,” imbuh Anna.
MK juga berwenang memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Lewat kewenangan ini MK sudah melaksanakan sidang penyelesaian perselisihan hasil pilpres dan pileg pada 2004, 2009 dan 2014. Sedangkan untuk sengketa hasil pilkada, MK juga berwenang untuk mengadili sejak 2008.
Tetapi setelah Putusan MK No. 97 Tahun 2013, MK memutus bahwa pilkada bukan merupakan rezim pemilu, maka MK mengembalikan kewenangan penyelesaian pilkada kepada pembentuk undang-undang. Hingga akhirnya muncul ketentuan Undang-Undang No. 8/2015 yang menyatakan MK berwenang menangani sengketa pilkada sampai lembaga khusus penyelesaian pilkada terbentuk.
Berikutnya, MK berwenang memutus pembubaran partai politik. “Sampai saat ini belum pernah MK melaksanakan kewenangan tersebut,” ujar Anna. Selain itu MK memiliki kewajiban memutus pendapat DPR bilamana diduga presiden dan/atau wakil presiden melakukan tindakan tercela hingga akhirnya dimakzulkan. (Nano Tresna Arfana/lul)