Pengalaman Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum dipandang sebagai pelajaran penting bagi pelaksanaan pemilu di Filipina yang akan diselenggarakan pada 9 Mei mendatang. Hal tersebut mengemuka dalam forum bertajuk “Forum on Electoral Contests Resolution in Indonesia and the Philippines” yang diselenggarakan di Manila, Rabu (13/4).
Atas undangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila, Staf Khusus Ketua Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menjadi pembicara pada kegiatan yang diselenggarakan di University of the Philippines itu. Janedjri, pada forum tersebut, memaparkan pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa sebagai bagian dalam proses penyelenggaraan pemilu dan menjadi salah satu indikator penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
“Di Indonesia, ada beberapa macam bentuk sengketa dan perselisihan dengan mekanisme dan kelembagaan yang berbeda, salah satunya adalah perselisihan hasil pemilu yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi”, tegas Janedjri.
Wewenang tersebut telah dijalankan untuk tiga kali pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, yaitu Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014, serta pemilihan kepala daerah sejak 2008 hingga pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 yang lalu. Janedjri menguraikan jumlah perkara yang ditangani sedemikian besar dengan batas waktu yang telah ditentukan undang-undang, yaitu 30 hari kerja untuk pemilu legislatif, 14 hari kerja untuk pemilu presiden, dan 45 hari kerja untuk pemilihan kepala daerah.
Untuk menyelesaikan tugas tersebut, diperlukan manajemen perkara yang rigid serta dukungan sarana dan prasarana. Dalam hal ini, jelas Janedri, salah satu sarana yang dimiliki oleh MK adalah fasilitas video conference yang tersebar di seluruh Indonesia untuk pelaksanaan sidang jarak jauh dan untuk mendekatkan akses masyarakat yang ingin mengikuti persidangan di MK.
Selain aspek mekanisme dan perkembangan praktik penanganan perkara, disampaikan pula perkembangan karakter kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemilu yang tidak lagi sekadar terkait penentuan angka-angka hasil pemilu yang diperoleh peserta pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan pemilu.
“MK sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar secara kualitatif pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 yang intinya menyatakan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dengan demikian, dalam memeriksa dan memutus perkara PHPU, MK juga menilai substansi pelaksanaan Pemilu.MK menilai apakah pelaksana Pemilu sudah mampu mengejawantahkan asas-asas pemilu luber dan jurdil”,pungkas Janedjri.
Selain Janedjri, kegiatan yang dimoderatori oleh Dennis F. Quilala (University of the Philippines) tersebut juga menghadirkan Komisioner KPU RI Ida Budhiati dan Ketua Bawaslu RI Muhammad. Hadir pula Aries Arugay (ISDS Philippine), dan Atty. Nesrin B. Cali (Commission on Election of the Philippines). Kegiatan tersebut diselenggarakan sebagai bentuk kerja sama antara KBRI Manila dengan Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) dan Department of Political Science University of the Philippines.
Penyelesaian sengketa pemilu di Filipina terbagi antara KPU, House of Representative Tribunal, Senate Tribunal, dan MahkamahAgung. KPU Filipina memiliki kewenangan memutuskan sengketa dan perselisihan untuk pemilihan gubernur dan parlemen provinsi, serta menjadi pengadilan banding untuk pemilihan walikota dan lembaga perwakilan di tingkat kota. House of Representative Tribunal, yang terdiri dari 3 orang hakim MA dan 6 orang anggota House of Representative memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa dan perselisihan pemilu anggota House of Representatif.
Sementara itu, Senat Tribunal, yang terdiri dari 3 orang hakim MA dan 6 orang anggota Senat memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa dan perselisihan pemilu anggota House of Representatif. Sedangkan MA Filipina memiliki kewenangan khusus untuk memutus sengketa dan perselisihan pemilu presiden dan wakil presiden.
Kelembagaan penyelesaian sengketa di Filipina ini memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan adanya konflik kepentingan serta jaminan independensi dan imparsialitas. Telah ada gagasan perubahan, namun hal itu masih belum dapat diwujudkan karena harus dilakukan melalui perubahan konstitusi yang membutuhkan proses dan persyaratan yang tidak mudah. (Pan M. Faiz/lul)