Kewajiban pengusaha memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dimulai sejak peredaran bruto (keuntungan kotor) usaha yang telah ditetapkan oleh menteri keuangan. Hal tersebut disampaikan Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Irawan saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang perkara Pengujian Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Rabu (13/4) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Didapuk sebagai wakil Pemerintah dalam sidang perkara No. 13/PUU-XIV/2016, Irawan menyampaikan sikap Pemerintah terhadap gugatan Edi Pramono selaku pedagang bahan bangunan yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan (4a) UU KUP.
Ketentuan dalam UU KUP yang digugat oleh Pemohon pada intinya mengamanatkan bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap dikenai kewajiban pajak berlaku surut. Artinya, sebelum terdaftar sebagai PKP sekalipun, pajak dari hasil usaha yang sudah berlalu tetap harus dibayarkan. Hal inilah yang dianggap Pemohon telah merugikan hak-hak konstitusionalnya, salah satunya hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Dengan adanya ketentuan tersebut, Direktur Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan surat ketetapan yang menyatakan Pemohon dibebankan dengan kewajiban perpajakan berlaku surut sebesar 623 juta rupiah per bulan. Bila ditotal, sebelum ditetapkan menjadi PKP sampai Pemohon ditetapkan sebagai PKP, kurang lebih PPN yang harus disetor oleh Pemohon berjumlah Rp1 miliar.
Menurut pemahaman Pemohon, PPN hanya dikenai setelah dirinya terdaftar sebagai PKP. Dengan pemahaman tersebut, Pemohon sama sekali tidak membebankan PPN dalam barang dagangannya sebelum ia ditetapkan sebagai PKP. Dengan kata lain, PPN yang berlaku surut tersebut harus ditanggung sendiri oleh Pemohon, bukan konsumen Pemohon.
Pemahaman Pemohon dinilai Pemerintah keliru. Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Irawan menegaskan meskipun Pemohon baru dikukuhkan sebagai PKP pada 2012, namun tidak berarti kewajibannya baru muncul setelah 2012.
Irawan menyampaikan kewajiban pembayaran PPN timbul sesuai dengan peredaran bruto (keuntungan kotor) usahanya yang telah ditetapkan oleh menteri keuangan. Bila Pemohon sebagai pengusaha membuat pembukuan yang benar sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU KUP, Irawan yakin Pemohon akan mengetahui kapan mulai dikenai kewajiban pajak.
“Dengan demikian, dapat disimpulkan, kewajiban memungut PPN bukan timbul karena Pemohon dikukuhkan sebagai PKP, namun timbul karena peraturan perundang-undangan,” ujar Irawan yang pada kesempatan itu juga didampingi Yunan Hilmi selaku Direktur Litigasi dan Perundang-undangan Kemenkumham.
Mekanisme pemungutan PPN tersebut menurut Pemerintah sejalan dengan sistem perpajakan yang menganut prinsip self assessment. Dengan sistem tersebut, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri.
Bukan Tindak Pidana
Pada kesempatan ini, Irawan juga menjelaskan tindakan memungut PPN sebelum ditetapkan sebagai PKP tidak termasuk tindak pidana seperti yang dikhawatirkan Pemohon.
Ancaman pidana yang dicantumkan dalam Pasal 39 UU KUP, lanjut Irawan, sebenarnya ditujukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan faktur pajak yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi keberhasilan pemungutan PPN dan pajak penghasilan (PPh). Ketentuan pidana dalam pasal tersebut juga hanya ditujukan bagi pengusaha yang benar-benar belum memuhi persyaratan subjektif dan objektif untuk diguguhkan sebagai PKP, namun menerbitkan faktur pajak.
“Ketentuan pidana tersebut tidak berlaku bagi pengusaha yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai PKP. Justru sebaliknya, bagi pengusaha yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk diguguhkan sebagai PKP seperti halnya Pemohon maka dikenakan kewajiban perpajakan terkait PPN sesuai Pasal 3A Undang-Undang PPN, beberapa kewajiban tersebut yaitu wajib melakukan peloporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut pajak yang terutang dengan menggunakan faktur pajak,” urai Irawan.
Oleh karena itu, Pemerintah melalui Irawan meminta Mahkamah untuk menolak seluruh permohonan Pemohon.
Sidang berikutnya untuk perkara ini akan diagendakan pada Kamis, 28 April 2016 mendatang. Mahkamah berencana untuk mendengarkan keterangan DPR yang pada sidang kali ini berhalangan hadir. Selain DPR, Mahkamah juga mengagendakan untuk mendengar keterangan ahli yang dihadirkan Pemohon dan Pemerintah. (Yusti Nurul Agustin/lul)