Mahasiswa Mathlaul Anwar Banten antusias saat mengunjungi Mahkamah Konstitusi, Rabu (13/4) di aula lantai dasar. Sebanyak 130 mahasiswa silih berganti mengajukan pertayaan seputar kewenangan MK terhadap produk hukum.
Zainuddin, salah seorang peserta misalnya, mempertanyakan sanksi hukum jika putusan MK tidak dijalankan. Peserta lainnya, Yuyu Rahayu menanyakan kewenangan MK memutuskan seseorang menjadi tersangka.
Menjawab kedua pertanyaan tersebut, Wiryanto, Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian MK mengatakan tidak ada sanksi konkret jika keputusan MK tidak dijalankan, hanya saja akan mendapat sanksi sosial dari publik.
Untuk pertanyaan selanjutnya, Wiryanto mengatakan MK tidak pernah menjadikan seseorang tersangka, sebab objek yang diadili merupakan undang-undang. “Hal tersebut tidak pernah terjadi. Sebab objek dari MK adalah undang-undang dan bukan merupakan kasus hukum yang bersifat konkret,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Wiryanto juga menjelaskan sejarah, tugas dan fungsi MK dalam ketatanegaraan. MK lahir melalui amandemen ketiga UUD 1945 sebagai bagian dari reformasi. Tujuannya agar produk undang-undang yang dihasilkan DPR tidak bertentangan dengan konstitusi.
MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Keempat kewenangan tersebut menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
“MK hakikatnya merupakan lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan hakim. Mereka merupakan representasi pilihan Mahkamah Agung (MA), presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan masing-masing lembaga tiga hakim.” (Arif Satriantoro)