Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar yang menguji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) melakukan perbaikan terhadap permohonannya. Sidang kedua perkara dengan Nomor 30/PUU-XIV/2016 ini digelar pada Rabu (13/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang perbaikan tersebut, Samanhudi yang diwakili oleh kuasa hukumnya Aan Eko Widiarto, menjelaskan telah memperbaiki kedudukan pemohon sesuai saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon menambahkan dukungan DPRD dalam permohonan perbaikan guna menguatkan kedudukan pemohon yang dirugikan karena berlakunya aturan yang memindahkan pengelolaan pendidikan menengah dari kabupaten/kota ke provinsi.
“Kemudian yang berikutnya juga tidak kalah pentingnya untuk memperkuat legal standing. Nasihat yang kami terima adalah DPRD itu juga ikut untuk menghindari nanti tidak dapat diterima, walaupun jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bahwa walikota atau bupati itu mewakili daerah. Nah, dalam hal ini kami sudah menghadirkan satu bukti yang baru, yaitu bukti P-3A berupa Keputusan DPRD Kota Blitar, yang di sana menyetujui untuk diajukan pengujian materi ini,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut.
Selain itu, Pemohon menilai keberadaan Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan saling bertentangan dengan aturan dalam UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). “Jadi, memang terjadi pertentangan menurut Undang-Undang Sikdisnas wewenang itu ada di pemerintah kabupaten/kota wewenang atas pendidikan menengah. Hanya saja, di Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu ada di provinsi tanpa mencabut ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Sikdisnas sehingga kami mengargumentasikan ketentuan ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, Samanhudi berkeberatan dengan aturan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan. Menurut pemohon, aturan yang mengalihkan pengelolaan pendidikan menengah dari Pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi Pencabutan kewenangan/urusan mengakibatkan pengelolaan unsur manajemen pendidikan menengah menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan.
Permohonan Warga Surabaya
Dalam sidang tersebut juga digelar perkara dengan Nomor 31/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh beberapa pemohon perseorangan warga Surabaya yang juga merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan yang sama. Para pemohon yang diwakili oleh Edward Dewarucci juga telah melakukan perbaikan permohonan dengan memperkuat dalil alasan permohonan. Menurut para pemohon, Pemkot Surabaya telah melakukan kewenangan mengelola pendidikan menengah dengan baik. Hal ini tercermin itu sudah tercermin dari besaran anggaran yang sudah dialokasikan APBD Surabaya yang jumlahnya lebih besar dari anggaran untuk pendidikan di Provinsi Jawa Timur sendiri. “Terhadap besaran jumlah anggaran yang sudah lebih dari 20% itu pun kemudian fasilitas atau keunggulan yang sudah dinikmati oleh para Pemohon berupa layanan pendidikan berkualitas,” ujarnya menjelaskan perbaikan yang telah dilakukan.
Bambang Wijarnako dkk selaku pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Dalam permohonannya, Pemohon berpendapat bahwa Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf A tentang Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan dalam Sub Urusan Manajemen Pendidikan UU Pemda memberikan kerugian konstitusional bagi para Pemohon. Pemohon menilai ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda berpotensi menghilangkan jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU 23/2014 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam jaminan di bidang pendidikan. (Lulu Anjarsari)