Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat kunjungan dari 20 Mahasiswa Hukum Universitas Malaya, Malaysia yang tergabung dalam student exchange dengan Universitas Pancasila, Selasa (12/4) di Aula Lantai Dasar MK. Kunjungan tersebut diterima langsung oleh Peneliti MK Bisariyadi.
Mengawali paparannya, Bisar menceritakan sepak terjang dan fungsi MK dalam ketatanegaraan di Indonesia. Pada hakikatnya, MK adalah lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan hakim. Sembilan hakim tersebut merupakan representasi pilihan Mahkamah Agung (MA), presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Perinciannya masing masing berjumlah tiga orang dari pilihan tiap lembaga,” ujar dia.
Terkait tugas dan fungsi, Ia menyatakan terdapat empat wewenang dan satu kewajiban MK berdasarkan amanat UUD 1945. Kewenangan MK yakni menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Lebih lanjut, Bisar menyatakan terbentuknya MK merupakan penerusan dari cita-cita reformasi, yakni melindungi hak konstitusional tiap warga negara. Dengan kata lain, jika ada UU yang merugikan warga negara, maka bisa saja dibatalkan MK.
Independensi MK
Usai menyampaikan paparannya, Bisar memberi kesempatan bagi para mahasiswa yang ingin bertanya. Salah satu peserta kunjungan, Khairuddin bertanya independensi MK. Sebab salah satu hakim konstitusi, yakni Patrialis Akbar memiliki latar belakang partai politik (parpol). Menjawab pertanyaan tersebut, Bisar menyatakan MK memiliki Dewan Etik yang berperan menjaga perilaku hakim konstitusi.
“Semisal ada tindakan hakim yang cenderung tidak independen, hal ini bisa ditindak,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, dalam pengambilan putusan, para hakim konstitusi melakukan musyawarah dengan delapan hakim lainnya. Bisar menjelaskan, mekanisme tersebut dapat meminimalisasi segala hal yang dapat memengaruhi independensi para hakim. (Arif Satriantoro/lul)