Aturan mengenai informasi maupun dokumentasi elektronik dapat dijadikan alat bukti disusun dengan tujuan untuk mengakomodasi perbuatan hukum baru yang memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Ditjen Aplikasi Informatika dan Kominfo Mariam F. Barata dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sidang ketiga perkara dengan Nomor 20/PUU-XIV/2016 ini digelar pada Senin (11/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya mewakili Pemerintah, Mariam menjelaskan ketentuan tersebut juga dinormakan dalam rangka memberi pengesahan terhadap alat bukti baru yang sah dengan cara memanfaatkan informasi maupun dokumen elektrnik ataupun hasil cetaknya. Tak hanya itu, aturan ini juga berfungsi untuk memperluas alat bukti yang ada dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan tujuan untuk mengantisipasi perbuatan hukum baru. Perluasan alat bukti ini dimaksudkan oleh pembentuk UU sebagai upaya preventif dan represif bagi perbuatan hukum baru dalam tindak pidana cyber.
“Selain itu, perluasan alat bukti dalam ketentuan tersebut juga dapat digunakan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan melawan hukum lainnya yang memanfaatkan teknologi informasi dalam sistem elektronik,” ungkapnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Pemerintah juga menerangkan tidak sependapat dengan alasan Pemohon yang menyatakan Surat Perintah Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus merupakan akibat dari berlakunya pasal-pasal yang diujikan oleh pemohon. Mariam menerangkan pengajuan permohonan yang dilakukan pemohon hanya semata-mata demi kepentingan pemohon, yakni agar alat bukti elektornik (dalam hal ini rekaman suara) yang dijadikan dasar pemanggilan pemohon tidak dapat menjadi alat bukti yang sah dalam permufakatan jahat.
“Hal ini menunjukkan bukan kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon, melainkan masalah penerapan norma. Karena sekalipun permohonan pemohon dikabulkan, tidak sedikitpun dapat menghentikan atau menghambat Kejaksaan untuk tetap memanggil Pemohon dalam proses penegakkan hukum,” tandasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penyelidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Pemohon menilai keberadaan norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman.
Tidak adanya pengaturan tersebut, dapat menciptakan situasi seperti yang dialami Pemohon, yaitu dianggap dan dikatakan telah melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, menerima pemberian atau janji. Tudingan tersebut, menurut Pemohon, hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu, dalam hal ini hasil rekaman yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin. Pemohon menilai tindakan perekaman tanpa kepentingan penegakan hukum oleh bukan aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk itu serta penggunaanya sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. (Lulu Anjarsari)