Adanya frasa ‘permufakatan jahat’ dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan pilihan kebijakan pembuat UU untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini disampaikan oleh Pemerintah yang diwakili Koordinator JAM Perdata dan TUN Kejaksaan Agung Muhammad Dofir dalam sidang ketiga uji materiil UU KUHP dan UU Tipikor yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dofir juga menjelaskan frasa ‘permufakatan jahat’ merupakan cara pembentuk UU untuk memberi peringatan kepada semua orang bahwa seseorang dapat dipidana. Meskipun pada akhirnya tindak pidana tidak atau belum dilakukan. “Jadi, baru pada tahapan niat untuk melakukan perbuatan jahat saja dapat dikenakan pidana,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dalam keterangannya, Dofir juga menjelaskan bahwa dalil-dalil yang diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto sebagai pemohon perkara ini, terkait dengan proses hukum yang menimpa pemohon. Saat ini, lanjutnya, Pemohon berstatus sebagai Terperiksa dan dalam tahapan penyelidikan oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tipikor dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Maka jelaslah bahwa dalil-dalil yang disampaikan pemohon bukanlah terkait konstitusionalitas norma, melainkan lebih kepada permasalahan penerapan norma. “Seharusnya pemohon dapat mengajukan keberatan terhadap hal-hal yang diuji materi pada saat masuk pemeriksaan sudah ditingkatkan pada tahap penyidikan,” terangnya.
Karena itulah, Pemerintah menganggap pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Tak hanya itu, pemohon juga meminta agar MK tidak menerima permohonan pemohon.
Dalam sidang tersebut, sedianya Mahkamah juga mengagendakan mendengar keterangan DPR, namun DPR tidak hadir.
Sebelumnya Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pasal 88 KUHP menyatakan“Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”. Sementara,Pasal 15 UU Tipikor menyatakan “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.
Pemohon menjelaskan telah dijerat dengan kedua pasal tersebut. Pemohon menilai bahwa pengertian tentang “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa undang-undang, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru. Pengertian pemufakatan jahat dalam pasal 88 KUHP, menurut Pemohon, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang saat ini secara nyata dialami Pemohon.
Terkait dengan status hukum Pemohon sebagai terperiksa kasus dugaan tipikor, sejumlah pemberitaan di media massa memuat pemberitaan yang menyatakan bahwa Direktur Penyelidikan Jaksa agung Muda Tindak Pidana Khusus memandang Pemohon terlibat dalam permufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT. Freeport Indonesia. Sementara, menurut pemohon, hal tersebut mustahil dilakukan karena dirinya tidak pada posisi yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Dalam kasus Pemohon, Pasal 88 KUHP diterapkan terhadap delik-delik kualitatif, seperti Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan penyalahgunaan wewenang sebagai unsur delik. Padahal dalam Pasal 3, pembuat deliknya haruslah pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu. Berdasarkan dalil tersebut, pemohon meminta frasa “pemufakatan jahat” dalam pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh pasal 15 UU Tipikor harus dimaknai dan ditafsirkan kembali oleh MK karena ketidakpastian hukum dalam frasa tersebut dapat menjadi cikal bakal kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya sebagaimana yang dialami oleh Pemohon. (Lulu Anjarsari)