Pendapat pro-kontra tentang hukuman mati di antara para ahli hukum masih berlanjut. Hal ini mengemuka dalam sidang pleno pengajuan judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) khususnya tentang ketentuan hukuman mati terhadap UUD 1945, Rabu (20 /06), di ruang sidang MK yang mengagendakan mendengarkan keterangan ahli dari perguruan tinggi di Indonesia.
Dr. Didik Endro Purwo Laksono, S.H., MHum. dari Universitas Airlangga, Surabaya, menjelaskan bahwa secara umum fungsi hukum pidana antara lain untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan individu. Kejahatan narkotika telah melanggar ketiga kepentingan hukum tersebut.
Jika permohonan dikabulkan, lanjut Didik, konsekuensinya semua peraturan perundang-undangan tentang pidana mati harus dihapus termasuk untuk pelaku terorisme dan pelanggaran HAM lainnya. Bagaimana tanggung jawab seluruh komponen bangsa ini jika pidana mati dicabut? Terorisme pun tentunya bisa semakin mengancam, jelas Didik.
Senada dengan Didik, Dr. M. Arief Amrullah, S.H., MHum. dari Universitas Jember menjelaskan bahwa semua orang boleh membela diri ketika hak hidupnya diancam. Penjatuhan pidana mati oleh negara, menurut Arief, adalah pelanggaran HAM bila dilakukan sewenang-wenang atau tanpa dasar yang sah menurut hukum yang berlaku.
Sementara itu, Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. dari Universitas Sumatera Utara menjelaskan bahwa terkait dengan Pancasila yang memuat nilai-nilai agama, hak hidup juga diakui sebagai hak setiap orang. Hanya Allah yang berhak menentukan hidup-matinya seseorang. Tapi cara hidup dan matinya seseorang itu, hanya dia sendirilah yang menentukan. Artinya, bagi penjahat narkoba, memilih cara mati dengan hukuman mati, urai Mahmud.
Dari segi kefilsafatan, Prof. Dr. Koento Wibisono dari Universitas Gadjah Mada menguraikan bahwa kadang kala kepastian hukum tidak memberikan keadilan. Namun bila kita memilih keadilan, keadilan siapa yang kita pilih? Bila memilih keadilan masyarakat, jelas Koento, maka masyarakat yang akan bahagia. Bagi yang menolak diterapkannya hukuman mati, itu hanya mewakili segelintir orang saja yang telah memiliki keuntungan miliaran rupiah. Padahal tujuan para pendiri bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan dan memakmurkan rakyat. Narkoba justru mendegradasi cita-cita tersebut, tegas Koento.
Mengulang penjelasan Tim Revisi KUHP yang telah didatangkan pada persidangan sebelumnya, Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dari Universitas Indonesia yang juga menjadi salah satu anggota Tim Revisi KUHP menjelaskan bahwa dalam RUU KUHP, pidana mati diatur dalam pasal tersendiri dengan kebijakan politik pemidanaannya adalah pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif, dengan ketentuan alternatifnya adalah penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun.
Namun, urai Mardjono, jika terpidana mati selama masa percobaan sepuluh tahun menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati pun dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM.
Sedangkan, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H. dari Universitas Gadjah Mada lebih mementingkan adanya program masyarakat anti narkoba secara intensif di seluruh pelosok tanah air dan tidak hanya sekedar menyelesaikan kasus narkoba lewat pengadilan yang menjatuhkan pidana mati.
Selanjutnya, Dr. Arif Gosita dari Universitas Indonesia menerangkan bahwa ketika pemerintah Belanda menghapus hukuman mati, justru pemerintah Hindia Belanda menerapkan hukuman mati demi ketertiban orang-orang pribumi. Hukuman mati adalah viktimisasi manusia ke manusia. Menghapus hukuman mati adalah untuk menciptakan 4K, yaitu, kebenaran, keadilan, kerukunan, dan kesejahteraan rakyat. Bila tak terpenuhi 4K ini, maka lebih baik undang-undang direvisi, ujar Gosita.
Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu dari Universitas Pattimura menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa hukuman, tapi tidak perlu ada hukuman dalam bentuk hukuman mati karena, bila dikaitkan dengan hak kemerdekaan dan untuk menciptakan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka sanksi hukuman mati ini jelas telah menyalahi konsep di atas. Setiap orang memiliki hak kemerdekaan untuk hidup termasuk untuk tidak dibunuh berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan sistem hukum, jelas Titahelu.
Serupa dengan Titahelu, Prof. Dr. Arief Sidharta dari Universitas Parahyangan menerangkan bahwa hukum pidana seharusnya berfungsi sebagai upaya resosialisasi bagi narapidana supaya bisa mengembalikan ketaatan seseorang ketika telah berada di tengah-tengah masyarakat. Hukuman mati, lanjut Sidharta, juga tidak terbukti menghasilkan efek jera daripada ketika menerapkan hukuman seumur hidup tanpa remisi. Resiko lain dari pelaksanaan hukuman mati adalah, ketika di kemudian hari ternyata terbukti ada kesalahan dalam menjatuhkan putusan dan eksekusi mati telah dilakukan, maka pemerintah hanya bisa meminta maaf tanpa bisa mengembalikan nyawa si terpidana, papar Sidharta.
Setelah mendengarkan keterangan Pemerintah, Badan Narkotika Nasional, Komnas HAM, para ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah dan MKdalam perkara ini, para mantan anggota PAH I Badan Pekerja MPR dan keterangan Tim Revisi KUHP, pada agenda persidangan selanjutnya, MK akan mendengarkan kesimpulan para pihak sebelum memutus perkara ini. Kami beri waktu dua minggu bagi Pemohon dan Pemerintah termasuk Pihak Terkait untuk menyerahkan kesimpulannya. Setelah itu, baru dijadwalkan lagi sidang pembacaan kesimpulan, kata Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sebelum mengakhiri sidang. (Wiwik Budi Wasito)