Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang kedua perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 33/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Rabu (6/4) di ruang sidang MK. Permohonan diajukan oleh Anna Boentaran dengan Kuasa Hukum Muhammad Ainul Syamsu.
Dalam sidang perbaikan tersebut, Pemohon memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Menurut Ainul, Pemohon telah memperbaiki petitum agar MK bukan menjadi positive legislator. “Pada intinya, apa yang kami sampaikan ini bukan termasuk dalam positive legislator karena tidak menimbulkan norma baru, tapi hanya menegaskan kembali asas-asas yang secara implisit ada di dalam pasal tersebut,” tuturnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung”.
Suami Pemohon pernah dituntut melakukan tindak pidana korupsi, dan telah sampai pada semua tahapan peradilan, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000. Kemudian, suami Pemohon bebas dari tuntutan pidananya begitu juga pada tingkat kasasi. Namun pada tahun 2009, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001. Dalam putusan tersebut, suami Pemohon dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara.
Pemohon keberatan atas pengajuan PK tersebut karena yang mengajukan adalah jaksa penuntut umum. Hal tersebut, menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Sehingga menurut Pemohon, jika Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dibiarkan tanpa perubahan dan penegasan, maka kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal itu secara kondisional tetap inkonstitusional (conditionally unconstitutional), yakni bertentangan dengan kaidah-kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945.
Dengan alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan dengan “… permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum”. (Lulu Anjarsari/lul)