Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (UU PPTKILN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang ketiga ini digelar pada Rabu (6/4) di Ruang Sidang MK. Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) yang diwakili oleh Imam Ghozali tercatat sebagai Pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 12/PUU-XIV/2016 tersebut.
Pemerintah, diwakili oleh Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Hery Sudarmanto, mempertanyakan mengenai kedudukan hukum yang dimiliki Pemohon. Menurut Hery, baik jika Pemohon bertindak sebagai perorangan maupun badan hukum privat, keduanya tidak memiliki kedudukan hukum. “Jika Pemohon bertindak sebagai perorangan, Pemohon sama sekali tidak mendalilkan perorangan yang bekerja atau akan bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Karenanya Pemohon sama sekali tidak mempunyai kepentingan atas pasal a quo yang diuji,” urainya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Sedangkan jika Pemohon bertindak untuk dan atas nama SPILN, Pemerintah menilai hal itu juga keliru. Sebab, SPILN bukanlah badan hukum privat dengan alasan SPILN sebagai serikat pekerja atau serikat buruh tunduk dan diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Ia menjelaskan tidak terdapat satu ketentuan pun dalam undang-undang a quo yang menyebut atau mengatur serikat pekerja atau serikat buruh adalah badan hukum privat.
“Berdasarkan dalil-dalil di atas pemerintah berpendapat Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum atau legal standing dan adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” imbuhnya.
Sementara terkait pokok permohonan, Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan atau argumentasi Pemohon yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 85 ayat (2) UU PPTKILN. Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan hingga saat ini Pemerintah tidak pernah atau belum mengatur upaya hukum lain beserta waktu penyelesaian apabila upaya musyawarah yang difasilitasi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak mencapai mufakat. “Anggapan Pemohon lahir sebagai akibat kurang pahamnya terhadap asas-asas peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah asas ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum,” paparnya.
Selain itu, menurut Pemerintah, UU PPTKILN pada dasarnya telah memberikan perlindungan terhadap TKI, mulai dari pra penempatan, sampai dengan penempatan. Termasuk dalam hal upaya penyelesaian sengketa antara TKI dengan pelaksana penempatan TKI swasta, yaitu dengan menentukan mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah. “Hal ini merupakan open legal policy pembentukan undang-undang dalam mengatur mekanisme penyelesaian sengketa antara TKI dengan PPTKIS,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menganggap UU PPTKILN merugikan hak konstitusional para TKI yang bekerja di luar negeri terutama Pasal 85 ayat 2 UU PPTKI. Dalam ketentuan Pasal 85 ayat (2) UU PPTKILN menyatakan “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah”.
Pemohon merasa ketentuan a quo hanya mengatur upaya penyelesaian perselisihan TKI dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) akibat dari penyimpangan perjanjian penempatan sebatas di tingkat instansi bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI/BNP2TKI). Menurut Pemohon, upaya penyelesaian pada tingkatan BNP2TKI, menimbulkan persoalan hukum bagi Pemohon yang berakibat pada kepastian hukum TKI untuk mendapatkan hak-hak yang belum dipenuhi oleh PPTKIS, apabila tidak mencapai mufakat. (Lulu Anjarsari/lul)