Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), Rabu (6/4). Permohonan dengan nomor perkara 23/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Joko Handoyo.
Hadir langsung dalam persidangan, Joko menyampaikan perbaikan permohonan sesuai masukan dan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon yang awalnya ingin menguji dua undang-undang yaitu UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI, mengubah menjadi hanya satu undang-undang yang diuji, yaitu UU PPHI.
“Makanya yang awalnya ada sekitar 11 pasal yang diujikan menjadikan satu. Itu pun hanya frasa ‘peraturan ketentuan perundang-undangan’. Sementara begitu Majelis, terima kasih,” ucap Joko kepada pimpinan sidang Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain itu, Pemohon juga mengubah objek permohonan dalam petitum-nya yang semula hanya Pasal 1 menjadi Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Sebelumnya, Joko Handoyo dkk. selaku Pemohon melakukan pengujian terhadap Pasal 1 Angka 22 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 2, Pasal 1 Angka 11, Pasal 1 Angka 12, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86, Pasal 110, Pasal 114, Pasal 115 UU PPHI.
Pemohon mendalilkan bahwa adanya mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang menggunakan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam UU PPHI, hal tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pada akhirnya relasi hubungan kerja yang dibangun adalah berdasarkan hukum privat dan artinya telah kembali lagi ke jaman penjajahan.
Menurut Pemohon, adanya proses penyelesaian perselisihan hak yang telah diatur dalam UU PPHI sekaligus sebagai hukum “formil“ UU Ketenagakerjaan, yang mana cara penyelesaiannya dengan mengajukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial dengan menggunakan Hukum Acara Perdata, maka hal tersebut sama halnya atau identik dengan apa yang dinamakan “gugatan perbuatan melawan hukum“ sesuai
Pasal 1365 KUHPerdata atau “gugatan ganti kerugian“ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98 hingga Pasal 101 KUHAP (Hukum Acara Pidana) dan dalam kerangka hubungan hukum “perdata atau privat“.
Oleh karenanya, Pemohon beranggapan bahwa keberadaan perselisihan hak telah merugikan pekerja atau buruh dan menguntungkan pengusaha. Bahkan patut diduga sengaja dibuat berdasarkan kebutuhan pengusaha. (Nano Tresna Arfana/lul)