Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kembali digelar Mahkamah Konstitusi, Selasa (5/4) di ruang sidang MK. Sidang kedua perkara teregistrasi dengan nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya.
Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon menambahkan satu orang pemohon menjadi tujuh orang, yakni Jempin Marbun. Selain itu, Pemohon telah mengelaborasi dalil-dalil permohonan disesuaikan dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon juga memperkuat positanya dengan mendalilkan kesalahan administrasi yang berimbas pada kerugian negara seharusnya tidak masuk ke dalam tindak pidana korupsi, namun dilakukan dengan penyelesaian administratif.
“Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa kesalahan administrasi yang mengakibatkan kerugian negara yang selama ini dikenai tindak pidana korupsi karena adanya perbuatan melanggar hukum dan adanya kerugian negara harus ditinjau kembali sebagaimana ditegaskan pengaturannya dalam Pasal 20, Pasal 70, Pasal 71, serta Pasal 80 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Kesalahan administratif harus dilakukan melalui penyelesaian secara administratif tidak dengan pendekatan pidana,” jelas Pemohon di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Dalam permohonannya, pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Menurut Pemohon, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, Pemohon menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)