Sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis, (31/3). Ketentuan pasal tersebut menyatakan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan bidang lainnya yang terkait dan dalam pelaksanaannya dapat dilakukan kerja sama dengan pihak asing.
Agenda sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut adalah mendengarkan keterangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai persoalan integrasi usaha peternakan unggas yang terjadi akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh lima belas orang peternak yang tergabung dalam Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia. Para Pemohon juga memiliki usaha di bidang budi daya peternakan unggas dengan skala kecil.
Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf menjelaskan bahwa adanya perubahan aturan ternak unggas, dari UU 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan kepada UU Peternakan saat ini, membawa dampak berubahnya paradigma sistem peternakan yang drastis.
“Salah satu poin penting bagi kami di KPPU dalam konteks persaingan adalah adanya perubahan paradigma dari undang-undang ini, jadi ada perubahan cara berpikir yang terlalu ekstrim di dalam perubahan undang-undang itu, dari pengusahaan perunggasan yang awalnya berbasis rakyat menjadi pengusahaan perunggasan berbasis perusahaan terintegrasi, yang mungkin bahasa korannya biasa disebut sebagai peternakan berbasis konglomerasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir,” kata Syarkawi dalam sidang perkara Nomor 117/PUU-XIII/2015 tersebut.
Dalam keterangan, ia juga mengungkapkan sejumlah temuan KPPU di lapangan yang menunjukkan banyaknya peternak unggas mandiri terpaksa harus menutup usahanya karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar. Atas persoalan-persoalan yang ditemukan, KPPU mengambil kesimpulan bahwa integrasi vertikal dalam pengusahaan peternakan ayam saat ini tidak selaras dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sehingga tidak menciptakan kesejahteraan rakyat.
Terhadap keterangan itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan kesimpulan KPPU yang menyatakan integrasi vertikal terjadi akibat dari berlakunya ketentuan yang diuji oleh para Pemohon. “Dari mana KPPU itu memperoleh kesimpulan bahwa implikasi dari penerapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 dan itu menciptakan integrasi vertikal?” tanya Palguna.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua MK Arief Hidayat. Arief mempertanyakan kaitan adanya integrasi vertikal dengan pasal-pasal yang diuji oleh Pemohon. “Apakah modal konstruksi yang demikian ini, itu dihasilkan oleh karena undang-undang ini yang bisa memungkinkan terjadi integrasi vertikal?” tanya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.
Terhadap pertanyaan itu, Syarkawi menjelaskan jika UU Peternakan tidak secara tegas menentukan integrasi yang diatur adalah integrasi horizontal atau integrasi vertikal. “Kalau kita lihat di Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 seperti yang dibacakan oleh Majelis Hakim Yang Mulia tadi, peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budidaya tanaman pangan, ini masih integrasi yang sifatnya horizontal.” ujarnya.
Namun, kata Syarkawi, jika budidaya tersebut memiliki kaitan dan dapat dijadikan bahan pakan ternak unggas maka integrasi yang terjadi adalah integrasi vertikal. “Ini saya enggak tahu teknisnya seperti apa, tapi kalau di situ ada jagung, di situ ada bahan pokok untuk pakan ternak, maka modal integrasinya itu bukan lagi sekadar integrasi horizontal, tetapi ini menjadi integrasi yang bersifat vertikal, Majelis Hakim Yang Mulia.” Terang Syarkawi.
Ia juga memberikan contoh pada budidaya tanaman pangan yang dapat dijadikan pakan ternak sebagai bentuk integrasi vertikal. “Kemudian, Majelis Hakim Yang Mulia, perlu kita juga melihat misalnya dalam konteks tanaman pangan. Tanaman pangan yang berpotensi menjadi pakan ternak itu apa saja di perunggasan. Nah, mungkin Majelis Hakim perlu menghadirkan ahli pakan yang kira-kira jenis komoditi yang disebutkan di dalam undang-undang ini, misalnya tanaman pangan apa saja yang berpotensi mejadi pakan ternak di unggas, kalau itu ada berarti integrasinya vertikal.” tegasnya. (Ilham/lul)