Meski persidangan sudah berlangsung tiga kali, Forum Pengacara Konstitusi selaku Pemohon perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) justru mengajukan permohonan penarikan kembali perkara No. 134/PUU-XIII/2015 tersebut. Kamis (31/3), Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan ketetapan yang pada intinya mengabulkan permohonan penarikan kembali perkara yang dimohonkan oleh Andi M. Asrun, Heru Widodo, Robikin Emhas, dkk itu.
Pada 21 Maret 2016 lalu, Mahkamah melalui kepaniteraan menerima surat permohonan penarikan kembali perkara a quo. Menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim yang kemudian menetapkan bahwa penarikan kembali yang dimohonkan oleh Pemohon beralasan menurut hukum.
Untuk diketahui, penarikan kembali suatu perkara yang masuk ke MK dibenarkan oleh Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut memberikan kesempatan perkara yang tengah diperiksa oleh Mahkamah. Meski demikian, penarikan kembali membawa konsekuensi bahwa permohonan serupa tidak dapat diajukan kembali.
“Menetapkan. Menyatakan. Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” ujar Ketua MK, Arief Hidayat yang didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, Pemohon menggugat ketentuan “hari kalender” yang tercantum dalam Pasal 1 angka 28 UU Pilkada. Para Pemohon beralasan “hari kalender” sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut dihitung secara hari normal, termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari bertanggal merah. Pada hari-hari tersebut, pelayanan jasa masyarakat tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Selain itu, penggunaan “hari kalender” juga dinilai para Pemohon tidak mempertimbangkan faktor geografis Indonesia, di mana banyak daerah yang sulit dijangkau dengan transportasi darat, sehingga harus menggunakan layanan penerbangan yang jumlahnya tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan layanan penerbangan bagi masyarakat.
Selanjutnya, para Pemohon beranggapan, jika hari dalam UU Pilkada didefinisikan hari kalender, maka akan menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian sengketa, baik di tingkat Bawaslu atau Panwaslu. Selain itu, juga akan menimbulkan masalah dalam persengketaan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maupun pada persidangan perkara pidana Pilkada di peradilan umum, yang dalam kelazimannya melakukan persidangan dengan menggunakan hari kerja, bukan hari kalender. (Yusti Nurul Agustin/lul)