Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk seluruhnya permohonan pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terkait aturan pengelompokkan alat berat ke dalam kendaraan bermotor. Putusan dengan Nomor 3/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Kamis (31/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh tiga perusahaan kontraktor, yaitu PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Japan.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ucap Arief.
Dalam pendapat yang dibacakan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah menilai bagian Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ, telah memunculkan norma hukum yang seolah-olah nyata (norma hukum bayangan) yang mengharuskan alat berat untuk memenuhi syarat-syarat teknis dan administratif sebagaimana syarat yang diharuskan bagi kendaraan bermotor pada umumnya, yang dioperasikan di jalan raya. Padahal, lanjut Wahiduddin, meskipun sama-sama berpenggerak motor, alat berat memiliki perbedaan teknis yang sangat mendasar dibandingkan dengan kendaraan bermotor lain yang dipergunakan di jalan raya sebagai sarana transportasi. Alat berat secara khusus didesain bukan untuk transportasi melainkan untuk melakukan pekerjaan berskala besar dengan mobilitas relatif rendah.
“Penggolongan atau penyamaan perlakuan terhadap alat berat dengan kendaraan bermotor pada umumnya, menurut Mahkamah, menimbulkan kerugian bagi para Pemohon ketika alat berat yang notabene bukan merupakan moda transportasi namun diwajibkan untuk memenuhi persyaratan yang diperuntukkan bagi moda transportasi dimaksud,” jelasnya.
Mahkamah, jelas Wahiduddin, juga menggarisbawahi dalam kaitannya dengan pengoperasian di jalan raya, alat berat juga memiliki perbedaan signifikan dengan kendaraan bermotor moda transportasi. Pada umumnya alat berat tidak didesain untuk melakukan perjalanan/perpindahan tempat oleh dirinya sendiri. Alat berat yang mampu melakukan perpindahan mandiri (berpindah tempat oleh kemampuan geraknya sendiri) pun memiliki batas kecepatan dan jarak tempuh yang sangat terbatas. “Tentu hal ini menambah derajat perbedaan antara alat berat dengan kendaraan bermotor moda transportasi yang memang penggeraknya didesain demi mobilitas tinggi, yaitu berpindah dengan cepat dan jarak tempuh jauh,” terangnya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai alat berat adalah kendaraan dan/atau peralatan yang digerakkan oleh motor, namun bukan kendaraan bermotor dalam pengertian yang diatur oleh UU LLAJ. Dengan demikian, pengaturan alat berat sebagai kendaraan bermotor seharusnya dikecualikan dari UU LLAJ atau setidaknya terhadap alat berat tidak dikenai persyaratan yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya yang beroperasi di jalan raya.
“Mewajibkan alat berat untuk memenuhi persyaratan teknis yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya, padahal keduanya memiliki karakteristik yang sangat berbeda, adalah hal yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) danPasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusional karena menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. Namun, menurut Pemohon, alat berat jika dilihat dari fungsinya merupakan alat produksi. Berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai moda transportasi baik barang maupun orang. Dengan kata lain, secara fungsional, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi moda transportasi barang maupun orang. Para Pemohon memiliki dan/atau mengelola alat-alat berat berupa antara lain: crane, mesin gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, dump truck, wheel loader, bulldozer, tractor, forklift, dan batching plant yang digunakan melakukan aktivitas usahanya. Dengan menyamaratakan alat berat dengan kendaraan bermotor maka alat berat diharuskan mengikuti uji tipe dan uji berkala seperti halnya kendaraan bermotor.
Alat berat diharuskan memiliki perlengkapan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam UU LLAJ, padahal alat berat yang dimiliki para Pemohon tidak memiliki alat pendongkrak dan pembuka roda dikarenakan alat berat tidak memiliki ban. Selain itu, alat berat juga harus diregistrasikan dan diidentifikasi seperti halnya kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU LLAJ yang pada pokoknya kendaraan bermotor diharuskan diregistrasi guna mendapatkan sertifikat uji tipe, padahal alat berat tidak dapat dilakukan uji tipe. (Lulu Anjarsari/lul)