Mahkamah konstitusi menggelar sidang pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, Kamis (31/3) di ruang sidang MK. Permohonan yang teregistrasi Nomor 32/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Su’ud Rusli dan Boyamin Saiman.
Su’ud merupakan mantan anggota marinir TNI angkatan laut yang terlibat dalam kasus pembunuhan dan telah mengajukan grasi pada tanggal 27 Januari 2015. Namun, grasi tersebut ditolak dengan alasan tidak memenuhi syarat formil. Sementara Boyamin merupakan kuasa hukum Antasari Azhar yang memiliki alasan yang sama.
Di dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Boyamin mengatakan ditolaknya grasi yang pertama telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena tidak dapat mengajukan grasi yang kedua. Padahal menurutnya, permohonan grasi kedua itu dapat memberikan kesempatan kepada Su’ud Rusli yang sudah melakukan perbuatan baik dan bertaubat untuk mendapatkan pengampunan dari kepala negara.
Bonyamin pun menerangkan permohonan tersebut berkaitan dengan permohonan sebelumnya, yakni PUU Nomor 107/2015. “Jika dulu Pasal 7 ayat (1) berkaitan dengan batas waktu, yang sekarang adalah jumlahnya. Artinya, Pasal 2 ayat (3) di situ disebutkan bahwa pengajuan grasi hanya sekali,” ujar Boyamin.
Menurutnya, grasi dapat diajukan tanpa pembatasan ruang dan waktu. Namun, dalam UU Grasi yang baru, yakni UU 5/2010 terdapat pembatasan. Pada Pasal 2 ayat (3) UU a quo, jumlah pengajuan grasinya hanya sekali. Sehingga dia menegaskan, bahwa hal tersebut merupakan pengaturan bukan pembatasan.
Adapun Pasal 2 Ayat (3) berbunyi : “Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal : a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.”
Usai menyimak pemaparan Pemohon, Majelis Hakim yang juga beranggotakan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan I Dewa Gede Palguna menyarankan agar Boyamin memperbaiki kedudukan hukum dengan mencantumkan Antasari Azhar sebagai pemohon.
“Mengenai legal standing, itu kalau memang statusnya Bapak sebagai kuasa Pak Antasari, kenapa bukan Pak Antasarinya saja yang jadi ini, kan itu yang jadi pertanyaan. Karena Pak Boyamin akan mengalami kesulitan dalam menguraikan kerugian konstitusionalnya, sebagaimana yang dimaksud Pasal 51 dan pendirian Mahkamah mengenaisyarat kerugian konstitusional itu,” ujar Palguna.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan. (utami/lul)