Ketentuan yang mengatur penentuan unsur pimpinan DPRD provinsi dianggap merugikan masyarakat Papua dan Papua Barat. Sebab, ketentuan tersebut tidak memberi ruang bagi anggota DPRD yang berasal dari unsur pengangkatan untuk menduduki kursi pimpinan DPRD Papua dan Papua Barat. Hal tersebut terungkap dalam sidang pendahuluan perkara Pengujian Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta UU Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang digelar Rabu (30/3) di Ruang Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK).
Tercatat sebanyak enam orang mengajukan permohonan dalam perkara No. 28/PUU-XIV/2016 itu. Keenamnya, yaitu Apolos Paulus Sroyer selaku Ketua Dewan Adat Bar Sorido-KBS (Pemohon 1), Paulus Agustinus Kafiar (Pemohon 2), Thomas Rumbiak (Pemohon 3), Filep YS Mayor (Pemohon 4), Mathias Komegi (Pemohon 5), dan Edy Kawab (Pemohon 6). Pemohon 2, 3, dan 6 menggunakan legal standing sebagai masyarakat asli Papua. Sementara Pemohon 4 dan 5 merupakan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat.
Keenam Pemohon mengajukan gugatan terhadap 9 pasal dalam UU MD3, yaitu Pasal 314 serta Pasal 327 ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan (9). Pemohon juga menggugat 7 pasal dalam UU Pemda, yaitu Pasal 94 dan Pasal 111 ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), dan (8). Pada intinya, pasal-pasal tersebut mengatur mengenai unsur keanggotaan dan pimpinan DPRD provinsi dari partai politik.
Diwakili Habel Rumbiak selaku kuasa hukum, Pemohon menyampaikan pokok permohon di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Pada intinya, pasal-pasal a quo dianggap menutup ruang bagi anggota DPRD provinsi yang berasal dari jalur pengangkatan atau jalur otonomi khusus (otsus) untuk didapuk sebagai pimpinan di DPRD Provinsi Papua dan Papua Barat.
Padahal, lanjut Rumbiak, Pasal 6 ayat (5) UU Otsus Papua memberikan ruang bagi anggota DPR Provinsi Papua untuk berasal dari jalur pengangkatan atau otsus. Pemohon khawatir, bila pasal-pasal yang digugat oleh Pemohon tetap diberlakukan, tidak akan ada anggota DPR Provinsi Papua maupun Papua Barat yang berasal dari jalur pengangkatan dapat menempati unsur pimpinan DPRD provinsi.
Oleh karena itu, Pemohon meminta agar frasa “anggota partai politik peserta pemilihan umum” dalam pasal a quo dinyatakan konstitusional bersyarat. Pada intinya, Pemohon meminta agar pimpinan DPRD Provinsi Papua dan Papua Barat dapat diisi oleh anggota DPRD yang diangkat dari unsur masyarakat adat, perempuan, dan agama.
“Menyatakan agar frasa ‘anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum’ yang diatur dalam Pasal 314 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 agar dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang juga dimaknai dan/atau termasuk anggota yang diangkat dari unsur masyarakat adat, perempuan, dan agama. Dan sebaliknya juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai anggota yang diangkat dari unsur masyarakat adat, perempuan, dan agama,” ujar Rumbiak di hadapan Hakim Konstitusi I Dewa Palguna dan Aswanto yang juga memeriksa perkara ini.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Patrialis menanyakan legal standing yang dipakai para Pemohon. Seperti diketahui, tidak ada satupun Pemohon yang sudah menjadi anggota DPRD Provinsi Papua maupun Papua Barat. Sehingga Patrialis menilai kerugian yang dialami Pemohon merupakan kerugian potensial.
Senada, Palguna juga mengingatkan bahwa kerugian yang dialami para Pemohon, terutama Pemohon yang menggunakan legal standing warga negara Indonesia, hanyalah kerugian potensial. Oleh karena itu Palguna meminta agar Pemohon dapat menjelaskan kerugian potensial yang dialami pasti akan terjadi. Sehingga pada akhirnya, Pemohon dapat memenuhi syarat terpenuhinya legal standing.
“Kalaupun misalnya potensial, tapi potensial itu adalah bukan sekadar potensial, tapi potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.Itu mesti jelas dalam permohonan,” saran Palguna.
Selain itu, Palguna menegaskan bahwa dalam perkara PUU, Pemohon harus membuktikan adanya pertentangan pasal yang digugat dengan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. Palguna melihat argumentasi Pemohon belum sampai pada adanya pertentangan dimaksud, melainkan hanya menunjukkan adanya ketidakharmonisan antara UU MD3, UU Pemda, dan UU Otsus.
“Di ujung akhirnya itu harus pertentangannya adalah dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena Mahkamah ini bukan menguji kesesuaian satu undang-undang dengan undang-undang yang lain, tetapi apa kemudian sebagai akibat dari disharmoni antara dua undang-undang ini, itu apa lalu pertentangannya dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Itu yang mesti diuraikan di dalam permohonan ini,” pinta Palguna.
Usai menyampaikan berbagai saran, Patrialis mengingatkan Pemohon agar menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat Selasa, 12 April 2016, pukul 10.00 WIB. Perbaikan permohonan dapat langsung diserahkan melalui Kepaniteraan MK. (Yusti Nurul Agustin/lul)